Jumat, 11 Juli 2014

Bercermin Pada Sejarah



* Roma Kuno 300 Tahun Menindas Orang Kristen, dan Binasa Karena Wabah.

Penderitaan Orang Kristen

Menurut catatan sejarawan Romawi Tacitus, kaisar Romawi kuno Nero, sengaja membakar kota Roma, dan kemudian menyalahkan orang-orang Kristen. Kemudian, Galerius juga melakukan cara yang sama, dalam waktu lima belas hari di istana kaisar di kota Nicomedia, ia membuat dua kali kebakaran, dan menuduh orang Kristen sebagai pelakunya, ini dilakukan untuk memaksa Kaisar Diocletian yang memerintah saat itu untuk menjatuhkan penganiayaan kejam pada orang-orang Kristen.

Pada tahun 64 M, di kota Roma terjadi kebakaran besar, kebakaran terjadi selama 6 hari penuh, dan menghancurkan gedung-gedung yang tak terhitung jumlahnya, rakyat kehilangan tempat tinggal dan mengungsi. Dikatakan bahwa kaisar Romawi Nero naik ke menara, bermain musik dan melantunkan puisi, sambil menonton api.
 
Demi untuk mengobarkan kebencian orang banyak kepada orang Kristen, sejumlah teoriawan Romawi membuat banyak rumor yang ditujukan kepada umat Kristen, seperti ketika orang-orang Kristen beribadah kepada Tuhan, mereka harus membunuh bayi dan minum darahnya, dan makan dagingnya, dan mengatakan bahwa orang Kristen gemar mabuk, inses, dan sebagainya, dengan begitu semua kejahatan masyarakat Romawi kuno telah dikenakan pada orang-orang Kristen.

Tahun itu, Nero telah memerintahkan untuk melemparkan banyak orang Kristen ke arena gladiator, para tokoh berkuasa Roma, sambil tertawa, menonton orang-orang ini dirobek dan dimakan hidup-hidup oleh binatang buas. Dia bahkan memerintahkan untuk mengikat banyak orang Kristen dengan tumpukan jerami, untuk membuat obor dan dijajar di taman, dan kemudian dinyalakan di malam hari, untuk menerangi pesta taman kaisar.
 
Doa terakhir Martir Kristen
(The Christian Martyrs Last Prayer)




Menggambarkan penindasan brutal dalam skenario Kekaisaran Romawi kepada orang Kristen: Pada pilar-pilar sekitar arena, sebelah kiri adalah orang Kristen yang menderita dan dibakar, di sebelah kanan adalah orang Kristen yang dihukum mati dengan disalib, di tengah-tengah adalah sekelompok orang Kristen yang akan dirobek oleh binatang buas.

Penganiayaan  Kaisar Aurelius kepada orang Kristen juga sangat brutal. Menurut keterangan sejarawan Thomas Schaaf, "mayat para martir, menutupi jalan-jalan: mayat-mayat mereka dimutilasi kemudian dibakar, tulang dan abu mereka yang tersisa dibuang ke sungai, sehingga mereka disebut 'musuh Allah' yang mencemarkan dunia."

Tahun 250 M, tiran Dionysius mengeluarkan perintah, memerintahkan orang Kristen di hari yang sudah ditetapkan "hari pertobatan", untuk melepaskan keyakinan mereka, jika tidak mereka akan menerima hukuman dari Gubernur setempat. Seorang pejabat pemerintah yang Kristen, akan dikirim ke perbudakan, atau disita harta bendanya; yang paling bersikeras akan dibunuh. Sebagai warga sipil, situasinya juga sangat tragis.

Tahun 303 M,  Kaisar Diocletian mengeluarkan dekrit lain, dimulainya, "Pemerintah kekaisaran Romawi meluncurkan penganiayaan agama terbesar" terjadi perusakan gereja dalam jumlah besar, menyita Alkitab, dan pembantaian kejam terhadap para pengInjil.

Dalam sejarah, penganiayaan terhadap perempuan Kristen sangat mengerikan. Beberapa peristiwa sejarah yang dijelaskan terjadi antara tahun 209-210, dikatakan bahwa para wanita saleh sering dipaksa untuk menghadapi cobaan yang berat, mereka harus memilih, keyakinan mereka atau kesucian mereka sendiri yang lebih penting.
 
Chistian Dirce




Istilah "Dirce", adalah kata ganti dari cara hukumam mati, "diikatkan pada sapi dan ditarik sampai mati" lukisan ini menggambarkan adegan penganiayaan terhadap orang Kristen di masa Romawi kuno.

Seperti diketahui banyak orang, sistem hukum di Kekaisaran Romawi kuno berkembang dengan baik, dan sistem pertahanannya sudah matang. Namun, sistem hukum yang kuat tidak mencegah penyalahgunaan penguasa dalam melakukan penganiayaan terhadap kepercayaan yang benar, sebaliknya hukum telah menjadi alat penguasa untuk menyiksa.

Pada zaman Romawi kuno, ada seorang gubernur bernama Pliny melaporkan kepada kaisar Trajan, "Siapapun yang dituduh sebagai orang Kristen, saya akan bertanya apakah mereka benar-benar orang Kristen, jika mereka mengakui, saya akan menakut-nakuti mereka dengan hukuman. dan kemudian diinterogasi lagi, jika mereka tetap bersikeras mengakui bahwa mereka adalah seorang Kristen, saya akan memerintahkan mengeksekusi mereka." Trajan dalam instruksi tertulis mengatakan, "Cara Anda dalam menangani kasus mereka yang dituduh sebagai orang Kristen, sangat tepat ......."

Dalam "kasus Cyprian dipenggal" yang terkenal kebusukannya, bapak gereja Cyprian menolak    untuk meninggalkan imannya dan menerima "rehabilitasi", pengadilan menganggap itu sebagai "mengerahkan kelompok penjahat secara diam-diam" dan "memusuhi para dewa Romawi," ia dinyatakan bersalah dan dihukum dipenggal.


Penganiayaan terhadap orang percaya tidak bisa dimengerti oleh orang yang memiliki hati nurani yang baik, karena itu keluar dari penguasa jahat yang pada hakekatnya cemburu, sewenang-wenang dan kejam. Secara historis, keKristenan kerap muncul di saat kemerosotan moral terjadi, dan hati manusia menjadi semakin jahat, sebab kekuatan yang baik akan memiliki dampak langsung terhadap kejahatan yang sudah berakumulasi sangat lama. Penganiayaan orang percaya, bukan hanya perwujudan pertempuran antara yang baik dengan kejahatan, tetapi juga pergumulan kejahatan sebelum kebinasaannya.

Saint Eulalia
penulis John William Waterhouse1849-1917, pelukis Inggris




Saint Eulalia (290-303M) adalah salah satu orang suci terkenal saat Kekaisaran Romawi menganiaya orang-orang Kristen, ketika ia meninggal masih berusia 13 tahun, "gadis ini adalah seorang Kristen yang sangat setia, dan selalu mempertahankan imannya." Dia melewati 13 jenis hukuman mati, termasuk digulung dengan pisau silinder, diamputasi, disalibkan, digantung pada kait menahan tiang sambil dibakar, dan akhirnya kepalanya dipenggal. Ketika dia meninggal, tiba-tiba turun salju dari langit, dan menutupi tubuhnya.

Dalam pandangan penguasa yang sewenang-wenang dan kejam, semua pemiikiran, keyakinan dan kelompok yang tidak sejalan dengan keinginannya merupakan "ancaman" yang serius, dan semuanya memiliki tujuan untuk menentang dan menyerang.

Kaisar Romawi Domitian telah memerintahkan penangkapan missal terhadap orang Kristen dan membunuh mereka, bahkan adik sepupunya sekeluarga juga tidak luput. Alasan Domitian menganiaya orang-orang Kristen adalah karena orang Kristen menolak untuk memanggilnya Allah. Kaisar ini tidak mau menuruti kebiasaan, menunggu setelah kematiannya baru disembah sebagai allah, namun selagi ia masih hidup, ia mengharuskan rakyat untuk menyebut dia "Tuhan kami, Allah kami"

Kaisar Diocletian untuk secara efektif menyatukan Kekaisaran Romawi, ia mengharuskan semua warga Negara Roma memeluk iman yang sama, karena itu Kristen menjadi kesulitan yang besar baginya. Maka, ia memerintahkan penghancuran gereja-gereja, dan orang Kristen dipaksa untuk memilih antara kemurtadan atau kematian.

KeKristenan dalam penyebarannya tetap mempertahankan keunikan iman mereka, dan menolak untuk melebur atau paralel dengan agama-agama lain, yang akhirnya menyinggung pembelah agama Romawi. Pada saat itu, dalam kota Romawi kuno menyembah banyak dewa dari bermacam-macam suku bangsa. Ada sangat banyak dewa-dewa jahat, dan pengikut dewa-dewa jahat itu sangat membenci iman yang benar.

Pada zaman Romawi kuno, orang Kristen memegang kehormatan, kesucian, kasih, perdamaian dan keadilan, dan saat itu hal-hal ini dianggap sebagai suatu idealisme yang tidak realistis. Karena kasih, orang-orang Kristen menolak untuk memasuki arena gladiator untuk menonton penjahat perang dan budak bertempur sampai mati, mereka bahkan memberikan pembebasan tanpa syarat kepada budak mereka. Banyak bapak gereja yang mengkritik kesenangan hidup mewah orang-orang Roma, yang menyebabkan ketidakpuasan besar dari beberapa orang. Kemurnian kehidupan pribadi Kristen dan kebejatan universal, serta suasana sosial boros Roma kuno membentuk suatu kontras yang kuat, sehingga membuat banyak orang, terutama mereka yang berkuasa merasa sebagai suatu ancaman besar.

Obor Nero
Nero's torches






Menggambarkan adegan kaisar Romawi Nero (37-68 M) dengan hukuman api menganiaya orang-orang Kristen. Penganiayaan kekaisaran Romawi terhadap orang Kristen, dari tahun 60-70 M, di Roma membunuh 12 murid Kristus, dimulai dari kedua rasul Petrus dan Paulus, dan terus berlangsung selama dua ratus tahun.

Pada zaman Romawi, Uskup Polikarpus dikirim pergi ke arena gladiator. Dan gubernur mengatakan, asalkan ia menyangkal Kristus di hadapan banyak orang, ia akan dilepaskan. Polikarpus mengatakan, "Selama 86 tahun ini saya telah melayani Tuhan saya, dan Dia tidak pernah memperlakukan saya dengan buruk, bagaimana saya bisa mempermalukan Raja yang telah menyelamatkan saya?" Gubernur bermaksud untuk membakar Polikarpus. Polikarpus berkata pelan, "Kamu ingin menakut-nakuti saya dengan api, kekuatan api itu hanya dapat membakar satu jam saja, tetapi Anda melupakan api neraka yang tidak dapat dipadamkan." Selanjutnya, sekelompok rakyat yang brutal maju, membakar ia hidup-hidup sampai mati.

Pada saat itu, banyak orang Kristen yang setia, mereka tidak hanya tidak mengeluh di dalam api, tapi memuji Tuhan mereka di dalam api. Semua ini tidak bisa dimengerti oleh masyarakat Romawi yang rusak dan tidak dapat membedakan yang benar dan yang salah.

Datangnya Wabah

Sejarah keKristenan di Kekaisaran Romawi dianiaya selama hampir 300 tahun, tetapi itu juga adalah sejarah kemerosotan Kekaisaran Romawi dari kuat menjadi lemah. Seiring penganiayaan terhadap orang Kristen, Kekaisaran Romawi juga terus-menerus berperang melawan bencana alam dan wabah, situasi ekonomi yang memburuk, suku-suku Jermanik dan Kekaisaran Persia juga mulai menyerang daerah-daerah terpencil, dan Kekaisaran Romawi jatuh pada kemerosotan.

Kemenangan Dewa Maut
(The Triumph of Death), tahun 1562, oil on canvas, 117x162 cm, Prado Museum, Madrid, Spanyol




Selama periode ini sejumlah wabah terjadi di Roma. Skenario tragis ini membuat kenangan yang tak terlupakan di hati manusia.    Sejarawan Ivar Grey Gables menggambarkan dengan jelas tentang wabah yang menimpah manusia yang ia alami ini.
 
 "Pada beberapa orang, wabah itu mulai dari kepala, mata mengeluarkan darah, wajah membengkak, diikuti oleh ketidaknyamanan di tenggorokan, dan kemudian, orang-orang ini menghilang untuk selamanya dari kumpulan orang banyak....... Beberapa orang isi perutnya keluar; beberapa orang menderita penyakit pes, nanah meluap dan demam tinggi, orang-orang ini akan mati dalam waktu dua atau tiga hari. Ada beberapa orang yang terinfeksi wabah dan masih bisa bertahan selama beberapa hari, tetapi ada beberapa pasien akan meninggal dalam waktu beberapa menit setelah terjangkit wabah. Ada beberapa orang yang terinfeksi satu atau dua kali dan bisa pulih kembali, tetapi ketika mereka, untuk ketiga kalinya terinfeksi maka kematian akan segera mengikuti."

Di antara wilayah kekaisaran  Romawi yang menderita wabah untuk pertama kali adalah Mesir, kota pertama yang terjadi wabah adalah kota pelabuhan Mediterania, Pelusium. Daerah tersebut selalu menjadi titik invasi dari musuh-musuh Mesir. Persia, Suriah, Yunani, dan bahkan Alexander Agung sendiri, juga menginvasi Mesir dari sini. Tapi kali ini, "musuh" tidak muncul dengan mengenakan baju besi, tetapi tersembunyi pada tikus-tikus yang naik ke darat dan berlarian ke segala penjuru – wabah tiba dari selatan melalui Laut Merah dan sampai ke Pelusium,   melalui Terusan Suez, dan "menyerang" Roma.

Setelah menghancurkan Pelusium, wabah menyebar dengan cepat ke Alexandria, dan terus meluas ke seluruh wilayah Konstantinopel dan Kekaisaran Romawi. Satu per tiga dari jumlah seluruh penduduk ketiga Kekaisaran ini meninggal karena wabah besar yang pertama, namun di ibukota kekaisaran, lebih dari setengah dari penduduknya meninggal.

Wabah Bagi Justinian

saksi lain dari bencana besar,  John dari Efesus mengambarkan: "Rumah di segala penjuru, besar atau kecil, bagus atau cukup nyaman, semuanya dalam sekejap berubah menjadi kuburan bagi para penghuni rumah. Para tuan dan para hamba di dalam rumah, berbaring di kamar tidur masing-masing, dalam waktu yang sama, dalam kelemahan mereka dan tiba-tiba merasakan napas kematian."

"Di mana-mana, "karena tidak ada orang yang menguburkan, di jalan-jalan tergeletak mayat yang pecah, dan membusuk" semua tampak mayat memenuhi jalan,    sehingga semua orang yang melihat akan mendapat gambaran yang mengerikan dan mengejutkan. Perut mereka membengkak, dari mulut yang terbuka menyemprotkan semburan nanah, mata mereka merah, tangan terangkat ke atas. Mayat ditumpuk dengan mayat, di sudut, di jalanan, teras atau pintu gerbang, bahkan teras gereja, dan semuanya membusauk. "Dalam kabut tipis di lautan, ada beberapa kapal yang karena awaknya diserang murka Allah dan menjadi kuburan yang mengambang di atas gelombang."
 
John menyaksikan dengan mata kepala sendiri  bagaimana wabah menghancurkan kota, dan dengan kehancuran yang sama brutal menghancurkan desa. "Hari demi hari, kami sama seperti semua orang, mengetuk pintu kubur, jika malam tiba, kami akan berpikir bahwa kematian akan datang pada malam hari untuk mengambil hidup kami, Jika fajar datang, kami akan menghadapi  pintu kubur sepanjang hari."

"Kami melihat sebuah desa yang tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tanahnya ditutupi dengan mayat; suplai makanan di pinggir jalan manghitam, rasa kesepian dan penuh horror memenuhi hati setiap orang yang masuk ke dalam dan kemudian meninggalkan desa tersebut. Dan ternak yang ditinggalkan pemiliknya tersebar di pegunungan,  tanpa ada orang yang mengawasinya."
   
Wabah di Kuas Pelukis

Di Konstantinopel, John mencatat secara rinci kengerian dari bencana besar ini"Ketika bencana datang melanda kota ini, sasaran pertamanya yaitu kaum miskin yang tidur di jalan-jalan." ...... "pada hari itu, 5000-7000 orang, bahkan bisa mencapai12.000-16.000 orang yang meninggalkan dunia ini. karena itu hanya permulaan, pejabat pemerintah berdiri pelabuhan, persimpangan jalan dan gerbang kota untuk menghitung jumlah orang yang mati.

"Dengan begini, orang-orang Konstantinopel berada di ambang kepunahan, dan hanya segelintir orang yang selamat. Jika hanya memperhitungkan mereka yang meninggal di jalanjika ada orang yang ingin kami bisa mengatakan angka statistik kematian yang pernah dihitung dengan benar – ada lebih dari 300.000 orang yang tewas di jalan-jalan. Pejabat yang bertanggung jawab untuk menghitung jumlah orang-orang yang tewas, setelah sampai pada jumlah 230.000, mendapati bahwa sangat sulit untuk menghitung jumlah kematian, karena itu tidak lagi dihitung. Sejak saat itu, mayat tidak lagi dihitung, tapi langsung diseret keluar kota."

"Pihak berwenang dengan segera mendapati bahwa tidak ada cukup tempat untuk mengubur. Baik karena tidak adanya tandu mayat  maupun tidak adanya Penggali Kubur, mayat terpaksa ditumpuk di jalan-jalan, dan di seluruh kota tercium bau mayat."

"Kadang-kadang, ketika orang-orang sedang berhadap-hadapan untuk berbicara satu sama lain, mereka lalu mulai gemetar, dan kemudian roboh di jalanan atau di dalam rumah. Ketika seorang sedang memegang alat di tangan, dan duduk melakukan pekerjaan tangan, ia juga akan roboh ke samping, dan putus nyawahnya. Orang-orang pergi ke pasar untuk membeli beberapa barang kebutuhan, dan ketika ia berdiri untuk berbicara atau menhitung uang, kematian tiba-tiba menghantam si pembeli atau si penjual. Barang dan uang masih ada di antaranya, tetapi tidak ada si pembeli atau si penjual untuk mengambilnya. "
 
"Dilihat dari segala sisi, segala sesuatunya menjadi tidak berarti, dihancurkan, dan pada akhirnya hanya ada pemakaman yang sedih. Seluruh kota menjadi runtuhan, oleh karena itu, pasokan pangan ke dalam kota juga terputus. "

"Setelah tempat pemakaman habis terpakai, mayat dikuburkan di laut. Sejumlah besar mayat dikirim ke pantai. Di pantai, perahu-perahu penuh dengan mayat. Dalam setiap perlayaran, semua mayat dilemparkan ke dalam laut, dan kemudian perahu-perahu kembali ke pantai dan mengangkut mayat-mayat yang lainnya. "
 
"Jika berdiri di pantai, akan dapat melihat orang banyak memikul tandu, pertama-tama mengangkut dua atau tiga mayat ke pantai, dan kemudian kembali untuk mengangkut mayat-mayat lainnya. Orang yang lainnya menggunakan papan dan tongkat untuk mengangkut mayat  dan menempatkannya tumpukan demi tumpukan. Beberapa mayat karena sudah membusuk, dibungkus menjadi satu dengan sebuah tikar,  sehingga orang-orang mengangkut mayat-mayat itu dengan tongkat menuju pantai, dan membuang mayat-mayat yang penuh nanah itu ke dalam laut. "

"Ribuan mayat memenuhi seluruh pantai, seperti barang yang mengambang di sungai, dan nanah mengalir ke laut. Meskipun semua perahu bolak-balik, dan terus memuat dan membuang "barang mengerikan" ke laut, tapi tetap mustahil untuk membersihkan semua orang yang mati. Oleh karena itu, Kaisar Justinian memutuskan untuk mengambil cara baru untuk menangani mayat-mayat itu dibangun makam besar, masing-masing kuburan dapat menampung 70.000 mayat."  

"Orang-orang mengangkut dan membuang mayat ke dalam lubang raksasa itu, seperti tumpukan jerami, lapisan demi lapisan mayat dipadatkan. Sebagian orang yang berdiri di bagian dasar lubang, sementara yang lainnya berdiri di tepi lubang, orang yang terakhir melemparkan mayat seperti melemparkan batu ke dalam lubang, orang di bagian dasar lubang kemudian menangkap mayat dan kemudian menumpuk bergantian dengan arah berlawanan sebaris demi sebaris. "karena kurangnya ruang yang cukup, sehingga pria dan wanita, orang muda dan anak-anak disesakan bersama-sama, seperti anggur busuk yang diinjak-injak oleh banyak kaki. Kemudian, dari atas diturunkan lagi banyak mayat, begitulah mayat pria dan wanita bangawan, orang tua laki-laki dan perempuan, orang muda laki-laki dan perempuan, juga gadis kecil dan bayi bersama-sama dibuang ke bawah."

Wabah Ashdod
(The Plague of Ashdod),Nicolas Poussin (1594-1665), Prancis, tahun 1630




Bencana ini telah mengubah sejarah. Abad ke-6, kaisar Bizantium Justinian berencana untuk menaklukkan seluruh wilayah Kekaisaran Romawi kuno, termasuk daerah-daerah yang tersisa di sekitarnya, juga menduduki banyak wilayah Sisilia dan Spanyol. Namun, pada waktu itu, 542 M, yang adalah tahun ke 15 pemerintahan kaisar Justinian, terjadi ledakan wabah tersebutt. Wabah keluar dari Mesir, menyerang ibukota Bizantium, Konstantinopel, dan menyebar ke arah barat ke Eropa. Kaisar Justinian yang berusia 59 tahun juga terinfeksi wabah. Orang-orang di Konstantinopel, dari orang biasa sampai kaum bangsawan, menghabiskan tiga bulan dalam kesakit dan kegelisaan. Saat memasuki musim dingin gejala-gejala itu menjadi lebih mematikan dan berubah menjadi pneumonia menular. Ketika wabah epidemi mereda, korban tewas di dalam kota mencapai hingga 40% penduduknya. Dan membuat setengah dari penduduk tewas karena wabah, dan menghancurkan ambisi Justinian yang sudah dekat untuk dicapai, sejak saat itu, Kekaisaran Romawi menjadi tenggelam. 
  
John, demi supaya generasi mendatang mengetahui kekejaman wabah, dan demi supaya generasi mendatang mendapat contoh nyata dari masa lalu, di dalam pengalamannya yang menyakitkan ia menuliskan nasihatnya yang baik. "Setiap kerajaan, setiap wilayah kekuasaan, setiap daerah dan setiap kota yang kuat, dan seluruh penduduknya tidak satupun yang dapat luput dari tangan wabah. Karena itu, ketika saya (John dari Efesus), seorang yang tidak beruntung, sedang memikirkan untuk mencatat satu per satu hal ini menjadi berkas sejarah, sering kali pikiran saya terhambat oleh mati rasa. Dan lagi, karena berbagai alasan, saya ingin melupakan semuanya:  pertama-tama adalah karena meskipun semua lidah dijumlahkan, tetapi tetap tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi, selain itu, karena  seluruh dunia sedang gemetar, dan berjalan menuju kehancuran, ketika masa hidup sutu generasi menjadi sangat berkurang, bahkan meskipun bisa mencatat sebagian kecil dari peristiwa-peristiwa yang tidak terhitung banyaknya ini, juga untuk apa gunanya? Dan lagi, orang yang mencatat semua hal ini, juga mencatat semua hal ini untuk siapa?"

"Tapi kemudian saya berpikir lagi, dengan pena kami, sehingga generasi di masa depan mengetahui sebagian kecil dari banyak peristiwa dimana Allah menghukum kami, dan ini tidak akan salah. Mungkin, di tahun-tahun kami yang tersisa di bumi kemudian, keturunan kami akan mendapat kebijaksanaan karena melihat kengerian dan keterkejutan yang kami rasakan karena bencana yang kami alami akibat hukuman dosa kami, dan juga karena hukuman yang diterima oleh kami, orang-orang yang malang ini, sehingga mereka dapat menyelamatkan diri sendiri dari murka Allah dan penderitaan di masa depan."

Semoga, generasi memdatang bisa sadar sebelum mengalami pengalaman yang menyakitkan. Kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, kejahatan akan dibalas dengan kejahatan, ini adalah hukum universal.

Babel kuno yang megah dan indah, mengapa dalam sekejap mata seluruh negara mati karena penyakit menular yang ganas, kemudian seluruh daerahnya terbenam oleh badai pasir, dan tidak bangkit kembali? Kenapa Kekaisaran Romawi kuno yang jaya dan kuat tidak berdaya di hadapan wabah, dan akhirnya binasa? Kenapa Glorious Atlantis yang makmur, seluruhnya tenggelam ke dalam laut dan binasa?......... Berapa banyak kemakmuran hancur dalam sekejap, dan meninggalkan kisah sedih. Namun, generasi berikutnya tidak benar-benar memperhatikan pelajaran dari sejarah ini, karena itu jatuh semakin dalam dalam ketidaktahuan……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar