Senin, 28 April 2014

Orang Gila atau Orang Normal



Dahulu, ada seorang wartawan bernama Gray Baker, dia pergi ke Italia untuk mewawancarai 3 orang yang spesial.

Begini kejadiannya : Seorang sopir yang bertugas mengantarkan orang sakit jiwa, karena kecerobohannya, 3 orang gila melarikan diri di tengah jalan.

Demi supaya tidak kehilangan pekerjaannya, dia membawa mobilnya ke sebuah halte bus, dan berjanji akan memberi tumpangan dengan gratis. Kemudian, dia menjadikan 3 orang penumpangnya sebagai orang gila, dan mengantarkarkan mereka ke rumah sakit jiwa.

Namun yang menarik perhatian Gray Baker bukanlah kisah ini, yang ingin dia ketahui adalah, dengan cara apa ketiga orang ini membuktikan dirinya tidak gila, dan akhirnya berhasil keluar dari rumah sakit jiwa.

Berikut ini adalah wawancaranya dengan orang pertama :

Baker : Saat Anda dimasukan ke rumah sakit jiwa, cara apa saja yang Anda pikirkan untuk menyelamatkan diri sendiri?

A : Saya pikir, jika ingin keluar, pertama-tama harus membuktikan bahwa saya tidak sakit jiwa.

Baker : Bagaimana Anda membuktikannya?


A : Saya berkata : "Bumi ini bulat", perkataan adalah kebenaran. Saya pikir, orang yang mengatakan kebenaran tidak mungkin dianggap sebagai orang gila!

Baker : Akhirnya apakah Anda berhasil?

A : Tidak. Saat saya mengucapkan kata-kata ini untuk ke 14 kali, perawat datang dan menyuntik pantat saya.

Berikut ini adalah wawancaranya dengan orang kedua :

Baker : Bagaimana Anda bisa keluar dari rumah sakit jiwa?

B : Saya dan A diselamatkan oleh C. Dia berhasil keluar dari rumah sakit jiwa, dan melapor ke polisi.

Baker : Waktu itu, apakah Anda memikirkan cara untuk meloloskan diri?

B : Ya, saya mengatakan kepada meraka bahwa saya adalah seorang Sosiolog. Saya bilang saya tahu mantan presiden Amerika adalah Bill Clinton, mantan Perdana Menteri Inggris adalah Tony Blair. Saat saya menyebutkan nama pemimpin Negara-negara kepulauan Pasifik Selatan, mereka menyuntik saya. Saya pun tidak berani berkata-kata lagi!

Baker : Lalu bagaimana C bisa menyelamatkan kalian?

B : Setelah dia masuk rumah sakit jiwa, dia tidak berkata apa-apa. Saat makan dia makan, saat tidur dia tidur. Saat staf medis menyukur jengotnya, dia berkata terima kasih kepada mereka. Di hari ke 28, mereka mengeluarkannya dari rumah sakit jiwa.

Gray Baker mengutarakan pemikiran seperti ini di dalam komentarnya:

Adalah sangat sulit untuk seorang yang normal jika ingin membuktikan bahwa dirinya normal. Mungkin hanya orang-orang yang justru tidak melakukan tindakan apapun untuk membuktikan dirinya normal, baru akan dianggap orang yang normal.

Orang-orang yang dengan berbagai cara membuktikan dirinya adalah orang yang memiliki kebenaran, orang-orang yang dengan berbagai cara membuktikan dirinya adalah orang yang kaya akan pengetahuan, termasuk orang-orang yang dengan berbagai cara membuktikan dirinya adalah orang yang kaya akan uang, mungkin akan dianggap oleh orang lain sebagai orang gila, hanya saja mereka sendiri tidak tahu!

Ada kata-kata yang menyatakan bahwa : Selamanya tidak perlu menjelaskan diri Anda kepada orang lain, karena orang-orang yang menyukai Anda tidak membutuhkan itu, dan orang-orang yang tidak menyukai Anda tidak akan mempercayai itu.

Sabtu, 12 April 2014

Semangat Perjanjian

Musim dingin tahun 1935, adalah masa depresi ekonomi terparah di Amerika. Di sebuah pengadilan di daerah pemukiman kumuh di kota New York, sedang membuka persidangan untuk mengadili sebuah kasus. Berdiri di tempat terdakwa seorang wanita tua berusia hampir 60 tahun. Bajunya kumal, dan wajahnya sedih. Dalam kesedihannya terlebih disebabkan oleh rasa malu. Karena dia mencuri roti di toko roti, maka pemilik toko roti mengadukannya ke pengadilan.

Hakim bertanya : " Terdakwa, apakah anda sungguh-sungguh mencuri roti di toko roti? "

Wanita tua itu menundukan kepala, dengan pelan menjawab : " Ya , Yang Mulia , saya benar-benar mencuri "

Hakim kembali bertanya : " Apa motivasi anda mencuri roti? Apakah karena lapar? "

Wanita tua itu mengangkat kepalanya, memandang pada hakim, dan berkata : " Benar, saya lapar. Tapi, saya lebih membutuhkan roti untuk memberi makan ke tiga cucu saya yang yatim piatu, mereka sudah beberapa hari tidak makan. Saya tidak bisa melihat mereka mati kelaparan. Mereka masih anak-anak kecil. " mendengar perkataan si wanita tua, dari arah penonton terdengar suara diskusi berbisik-bisik.

Hakim mengetokan palu kayu, dengan tegas berkata : " Tenang, keputusan hukuman akan diumumkan. " Hakim memalingkan wajahnya kepada si wanita tua, berkata : " Terdakwa, saya harus bertindak adil, dan menjalankan hukum. Anda punya 2 pilihan, pertama membayar denda 10 dolar, atau 10 hari dalam tahanan. "

Wanita tua itu menunjukan ekspresi wajah sedih dan menyesal, memandang hakim, dengan berat berkata : " Yang Mulia, saya sudah melanggar hukum, dan bersedia menerima hukuman. Jika saya punya 10 dolar, saya tentu tidak akan mencuri roti. Saya bersedia ditahan 10 hari, tapi siapa yang akan menjaga ke tiga cucu saya itu? "

Di saat itu, dari tempat penonton berdiri seorang pria berusia 40 tahun lebih, dia membungkuk dalam-dalam kepada wanita tua itu, dan berkata : " Mohon anda menerima denda yang 10 dolar. " Dia berbalik ke arah penonton yang lain, menarik keluar 10 dolar dari dalam sakunya, melepas topinya dan memasukan ke dalamnya, berkata : "Para hadirin, saya adalah wali kota New York saat ini, LaGuardia  dan sekarang , saya mengundang Anda untuk membayar 50 sen per orang, ini adalah untuk membayar harga ketidak pedulian kita, untuk menghukum kita yang hidup di sebuah kota di mana ada seorang nenek yang harus mencuri untuk memberi makan cucunya. "

Semua orang di ruang pengadilan terkejut, semua terbelalak memandang wali kota LaGuardia. Untuk sesaat ruang pengadilan menjadi begitu hening, sampai bunyi sebuah jarum yang jatuh pun akan terdengar. Dalam sekejap, semua penonton berdiri, setiap orang dengan sungguh-sungguh mengambil 50 sen, meletakannya dalam topi wali kota, bahkan tak terkecuali Sang Hakim.

Menurut logika, seorang wanita didenda karena mencuri roti, apakah ada hubungannya dengan orang luar? LaGuardia dengan jelas berkata ---------- untuk membayar harga ketidak pedulian kita. Dia memberitahu antara manusia dan manusia lainnya tidaklah berdiri sendiri tanpa berhubungan. Manusia datang ke dunia, sebagai makhluk sosial, dimasukan ke dalam perjanjian.

Untuk hubungan dalam kepentingan material, ada hukum perjanjian;

Untuk berhubungan dalam perbuatan hidup sehari-hari, ada semangat perjanjian.

Kebaikan, bukan hanya sebuah tabiat yang berlawanan dengan ketidak pedulian, kecurangan, kekejaman, dan keuntungan diri sendiri, namun sebuah semangat perjanjian.

Ada seorang pendeta Protestan Jerman bernama Martin Niemoller, dia di Yahudi Holocaust Memorial di Boston mengukir sebuah puisi pendek:

Di Jerman, awalnya mereka membunuh Komunis,
Saya tidak bersuara, karena saya bukan Komunis;
Setelah itu mereka membunuh orang Yahudi,
Saya tidak bersuara, karena saya bukan orang Yahudi;
Kemudian mereka membunuh anggota serikat buruh,
Saya tidak bersuara, karena saya adalah umat Protestan;
Akhirnya mereka mengejar saya,
Dan tidak ada orang yang bersuara untuk saya.

Ini adalah akibat dari mengingkari semangat perjanjian.

Manusia hidup di dunia, siapa pun memiliki kemungkinan untuk berhadapan dengan bahaya dan keadaan yang buruk. Siapa pun memiliki kemungkinan untuk menjadi lemah. Jika kita saat orang lain dalam keadaan kritis tidak memberikan bantuan, siapa bisa menjamin bahwa diri kita tidak akan menelan buah pahit kesendirian karena tidak ada yang menolong kita?

Saat ini, masyarakat terlalu dingin, terlalu tidak peduli, dan kita akan membayar harga akibat keegoisan kita.

Hanya orang-orang yang memiliki hati yang baik yang akan bersinar seperti matahari. Karena itu, perjanjian ( perbuatan ) yang baik yang akan bertahan di dunia. Orang-orang yang mengerti bagaimana menghargai perjanjian ini adalah orang-orang yang mulia. Orang-orang yang mengerti membayar harga untuk ketidak pedulian adalah orang-orang yang berhikmat.

Rabu, 09 April 2014

Kisah di Balik "Sepasang Tangan yang Berdoa"



Seniman besar Jerman Albrecht Dürer, memiliki sebuah lukisan yang terkenal "Sepasang Tangan yang Berdoa". Ada sebuah kisah mengenai kasih dan pengorbanan di balik lukisan ini.

Pada abad ke 15, di Jerman ada sebuah desa kecil, di sana tinggal sebuah keluarga yang memiliki 18 orang anak. Sang ayah bekerja sebagai tukang pelebur logam. Untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, ia bekerja 18 jam setiap hari.

Meskipun hidup keluarga ini sangat miskin, namun 2 orang anaknya memiliki impian yang sama. Mereka adalah Francis dan Albrecht. Mereka berharap bisa mengembangkan bakat mereka di bidang seni. Namun mereka tahu, sang ayah secara ekonomi tidak mampu membiayai mereka berdua untuk bersekolah di Institut Seni.

Suatu malam, dua bersaudara ini berunding di atas tempat tidur, dan mendapat sebuah kesepakatan; mengambil keputusan dengan mengundi lempengan perak ---------- pihak yang menang akan bersekolah di Institut Seni, sedangkan pihak yang kalah akan bekerja di pertambangan untuk mencari uang; 4 tahun kemudian, yang bekerja di pertambangan akan bersekolah di Institut Seni, disokong oleh pendapatan yang telah lulus dari Institut Seni. Akhirnya sang adik, Albrecht yang menang.

Albrecht terlihat sangat menonjol di Institut Seni, karya-karyanya lebih bagus daripada dosennya. Setelah lulus, dia tidak lupa akan janjinya. Dia segera kembali ke desanya, mencari kakaknya Francis yang selama 4 tahun ini terus bekerja di pertambangan untuk membiayai sekolahnya.

Pada hari dia kembali ke desa, keluarganya menyiapkan pesta untuknya. Merayakan kelulusan serta kepulangannya. Di tengah pesta, Albrecht mengucapkan terima kasih atas dukungan Francis beberapa tahun ini untuk dirinya: "Sekarang giliranmu kakak, aku akan sepenuhnya mendukungmu ke Institut Seni untuk mengejar dan mencapai impianmu"

Pandangan para keluarga dan sahabat langsung beralih kepada Francis, hanya terlihat air mata mengalir dari kedua mata Francis. Dia menundukan kepala, dan sambil menggelengkan kepala ia berkata: "Tidak…… Tidak……….."

Dia berdiri, memandang adik yang dikasihinya, Albrecht, menggemgam tangangnya dan berkata: "Adik, lihatlah kedua tanganku ini, selama 4 tahun bekerja di pertambangan, telah menghancurkan tanganku, sendi-sendiku tidak lagi bisa bergerak dengan baik, sekarang tanganku hanya untuk bersulang dan memberi selamat kepadamu saja sudah tidak mungkin lagi. Bagaimana harus mengerakan kuas untuk melukis dan mengukir dengan pisau? Sudah terlambat adikku………. Namun, melihatmu bisa mencapai impianmu, aku sungguh-sungguh gembira."

Beberapa hari kemudian, Albrecht secara tidak sengaja melihat Francis sedang berlutut di lantai, menyatukan kedua tangannya yang kasar untuk berdoa: "Tuhan! Kedua tanganku ini sudah tidak bisa untuk mewujudkan impianku menjadi seorang seniman, mohon Engkau menambahkan bakat dan kemampuanku kepada adikku Albrecht."

Albrecht, yang dari semula sangat berterima kasih kepada kakaknya, saat melihat kejadian ini langsung memutuskan untuk melukis sepasang tangan kakaknya ini.

Bertahun-tahun kemudian sampai hari ini, sketsa, lukisan, gambar cat air, ukiran kayu, ukiran tembaga karya Albrecht Dürer, bisa ditemukan di museum di berbagai tempat di seluruh dunia, namun, yang orang paling kenal, tidak ada yang melebihi "Sepasang Tangan yang Berdoa".