Kamis, 31 Januari 2013

Pria Kaya


Saya mengenal seorang wanita dari keluarga sederhana yang kemudian menikah dengan seorang pria kaya namun tidak seiman. Dan wanita ini memilih untuk meninggalkan Tuhan dan mengikuti keyakinan si pria demi untuk mendapatkan pria kaya tersebut. Dan ironoisnya, wanita ini mengajarkan kepada adik perempuannya yang masih remaja untuk mengikuti jejaknya. Mencari suami orang kaya, meskipun harus meninggalkan Tuhan.

Gadis remaja ini kemudian bercerita dan bertanya kepada saya: "Ce, itu kan sama saja dengan menjual Yesus?"

"Benar, karena itu kamu jangan cari cowok kaya. Tapi kamu harus cari yang takut akan Tuhan. Kekayaan itu bisa lenyap sewaktu-waktu. Tapi hati yang takut akan Tuhan tetap selamanya, dan Tuhan sanggup memberkati kamu dengan kekayaan." Jawab saya kepadanya. Dan saya bersyukur, gadis itu bisa memiliki pemikiran seperti itu.

Di dunia yang semakin materialistis saat ini. Di mana orang-orang diarahkan untuk mengikuti gaya hidup konsumtif. Kota-kota besar sudah menjadi hutan mall yang dikemas sedemikian rupa untuk menarik minat masyarakat. Belum lagi iklan-iklan yang memamerkan barang-barang yang merangsang kesenangan manusia, dan membuat seolah-olah hidup tidaklah lengkap tanpa memiliki barang-barang itu. Semua itu membuat manusia tidak lagi bisa membedahkan kebutuhan dan keinginan. Yang mengakibatkan pengejaran manusia akan kesenangan hidup semakin meningkat dan meningkat, dan akhirnya manusia menjadi semakin materialistis.

Demi pengejaran akan kesnangan itulah manusia jadi rela untuk melakukan segalanya, termasuk hal-hal yang bertentangan dengan moral, seperti berhutang – termasuk pemakaian kartu keredit yang berlebihan –, korupsi, menipuh, sampai menjual diri, bahkan menjual Tuhan.

Ironisnya matrealistisme ini juga masuk ke dalam gereja. Ada banyak wanita Kristen yang menentukan kreteria pasangan hidupnya berdasarkan "kemapanan" seorang pria dan bukan karena kualitas rohaninya. Menurunkan makna ucapan rasul Paulus tentang pasangan hidup yang seimbang hanya dengan standar seorang pria bergereja atau tidak menjadi hal yang biasa. Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?   ( 2 Kor 6:14 ). Cukup dengan melihat apakah pria tersebut "beragama" Kristen dan pergi ke gereja setiap hari Minggu, berarti pria tersebut sudah memenui standart pasangan hidup yang seimbang. Tidak peduli apakah pria tersebut punya hubungan pribadi dengan Tuhan atau tidak. Apakah hidupnya sesuai dengan firman Tuhan. Dan apakah motifasinya untuk pergi ke gereja setiap Minggu. Apakah dia ke gereja karena rindu untuk beribada dan menyembah Tuhan. Ataukah ada motifasi yang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Saya pernah mendengar tentang seorang pria yang pergi ke gereja untuk mencari pasangan hidup karena dia mendengar bahwa wanita di gereja lebih baik daripada wanita di luar gereja.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah, wanita-wanita Kristen yang menjalin hubungan dengan pria yang tidak mengenal Tuhan dengan alasan sekalian pengInjilan. Mereka mengira dengan mereka berpacaran dengan pria yang tidak seiman, akhirnya mereka akan dapat menarik pria tersebut untuk datang kepada Tuhan. Mereka tidak menyadari, bahwa mungkin sebaliknya mereka yang justu akan terbawa oleh pria tersebut dan meninggalkan Tuhan. Yesus berkata, bahwah kita bukan dari dunia ini, melainkan Dia telah memilih kita dari dunia dan menjadikan kita anak-anak Allah. ( Yoh 15:19, 1:12 ) karena itu posisi kita tidak sama dengan posisi orang dunia. Kita di "atas" dan dunia di "bawah". Oleh sebab itu, akan lebih mudah untuk dunia menarik kita ke bawah daripada kita menarik dunia ke atas. Sebagai contoh, akan jauh lebih mudah dan membutuhkan tenaga yang lebih sedikit jika kita hendak memindahkan barang seberat 10 kg dari lantai atas ke lantai bawah, dibandingkan jika kita hendak menaikkan benda seberat 10 kg dari lantai bawah ke lantai atas.

Juga jika seandainya pria tersebut mau mengikuti kita ke gereja dan "menerima Tuhan", belum tentu motifasinya benar karena dia percaya kepada Tuhan. Bisa jadi motifasinya hanya untuk menyenangkan kita dan mengambil hati kita, dan setelah berhasil mendapatkan kita, dia justru berbalik melarang kita untuk mengikuti Tuhan. Beberapa tahun lalu saya mengenal seorang petugas rumah sakit yang membantu saya fisioterapi. Bapak ini beragama lain, tapi isterinya dulu adalah seorang Katolik. Dia bercerita bagaimana dia dulu mengikuti isterinya ke gereja, dan akhirnya dia pun setuju untuk menikah secara Katolik. Namun seiring berjalannya waktu, dia mulai mengajak isterinya mengikuti kewajiban agamanya untuk menjaga sikap saling menghargai. Akhirnya, setelah ke dua anak mereka menginjak remaja, isterinya pun beralih mengikuti agamanya. Begitulah akhirnya, bukan wanita Kristen yang menarik seorang pria kepada Tuhan, sebaliknya justru wanita Kristenlah yang sering kali ditarik untuk meninggalkan Tuhan.

Sebenarnya "kemapanan" sama sekali tidak menjamin kebahagiaan sebuah pernikahan. Kebahagiaan sebuah pernikah hanya bisa dibangun atas dasar rasa takut akan Tuhan. Jika suami dan isteri sama-sama memiliki hati yang takut akan Tuhan, maka mereka telah memiliki dasar pernikahan yang kokoh. Seorang konselor pernikahan mengatakan, membangun sebuah pernikahan ibarat 2 orang arsitek yang bersepakat membangun bersama sebuah rumah. Ke dua orang arsitek ini masing-masing memiliki blue print yang berbeda. Blue print mewakili pandangan seseorang tentang bagaimana sebuah pernikahan seharusnya dibangun. Pandangan tentang bagaimana sebuah pernikahan harus dibangun berbedah untuk masing-masing orang. Pandangan ini terbentuk karena banyak faktor, dan faktor terbesar adalah latar belakang keluarga.  Seseorang cenderung membangun sebuah pernikahan berdasarkan contoh orang tua mereka dalam membangu sebuah keluarga. Selain itu ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi pandangan seseorang tentang sebuah pernikahan, seperti informasi yang mereka dapat dari buku, media, dan lain sebagainya.

Jadi bayangkan, jika 2 orang arsitek dengan blue print yang berbedah membangun sebuah rumah. Pastilah rumah yang mereka bangun hasilnya akan berantakan. Karena itu, agar mereka dapat membangun sebuah rumah dengan benar, mereka harus sepakat dengan 1 blue print yang benar. Mereka harus rela membuang blue print yang mereka miliki, jika itu tidak sesuai dengan blue print yang benar. Dan satu-satunya blue print yang benar untuk membangun sebuah pernikahan adalah firman Tuhan. Karena itu, untuk bisa membuang pandangannya yang salah tentang pernikahan, dan menerima firnam Tuhan sebagai satu-satunya blue print dalam membangun sebuah pernikahan, suami dan isteri harus sama-sama memiliki hati yang takut akan Tuhan.

Karena itu, apa gunanya memperoleh suami yang mapan tapi tidak mengasihi kita dengan sepenuh hati? Apa gunanya memiliki suami yang kaya tapi selalu berbeda pendapat dengan kita? Dan apa gunanya kekayaan jika pernikahan kita selalu dipenuhi dengan pertengkaran?

Selain itu "kemapanan" sifatnya sangat sementara. Kekayaan dapat hilang dengan seketika oleh banyak sebab, seperti kebangkrutan, bencana, penyakit dan banyak hal lainnya.

Guru les saya mempunyai teman seorang pria yang kaya, namun kemudian dia jadi sakit-sakitan. Karena dia sudah tidak bisa bekerja lagi dan sudah mengeluarkan banyak uang untuk biaya pengobatannya, akhirnya dia jatuh miskin. Setelah dia jatuh miskin, isterinya pergi dengan pria lain membawa semua sisa uang yang mereka miliki. Seorang pria kaya dengan latar belakang keluarga yang juga kaya, prusahaan pribadi, rumah mewah, dan banyak mobil. Akhinya tinggal sendirian dan tanpa memiliki di sebuah rumah kontrakan kecil. Bahkan untuk pergi ke mana-mana, guru les saya meminjamkan mobil adiknya yang sudah meninggal, agar mobil itu tidak hanya tergeletak di garasi dan menjadi rusak, karena guru saya tidak mau menjual mobil peninggalan adiknya itu.

Karena itu uang bukanlah segalahnya, dan janji Tuhan berkata:

Allahku akan memenuhi segala keperluanmu kekayaan dan mekulianNya dalam Kristus Yesus.

( Filipi 4:19 )

Dari ayat di atas kita bisa mengetahui bahwa Tuhan akan memenuhi segala keperluan kita, bukan hanya menurut kekayaan yang kita miliki, tapi menurut kekayaan dan kemulianNya. Jika kita berusaha untuk memenuhi sendiri semua keperluan kita menurut kekayaan kita, dengan berusaha mencari suami seorang pria yang mapan, maka janji Tuhan itu tidak akan berlaku untuk kita. Karena Tuhan ingin kita sepenuhnya bergantung kepada Dia.

Selain itu, agar Tuhan dapat memenuhi segala keperluan kita menurut kekayaan dan kemulianNya di perlukan satu syarat mutlak, yaitu janji tersebut hanya dapat dipenuhi di dalam Kristus. Di luar Kristus, tidak ada satu pun janji Allah yang akan digenapi. Alkitab berkata: Kristus adalah "ya" bagi semua janji Allah. ( II Korintus 1:20 )

Oleh sebab itu, sebagai anak-anak Tuhan, janganlah pernikahan kita hanya dilandasi dengan keinginan untuk bahagia ( dengan mencari suami yang kaya ), atau karena kita merasa menikah adalah fase yang normal dalam kehidupan setiap manusia. Jika seseoang belum menikah, maka kehidupannya belum lengkap. Semua landasan itu adalah landasan yang sangat rapuh untuk membangun sebuah pernikahan.

Hendaknya landasan kita untuk membangun sebuah pernikahan adalah, "agar kehendak Tuhan terlaksana dalam hidup kita melalui pernikahan." Dengan begitu, kita juga harus sepenuhnya bergantung pada Tuhan untuk menentukan pasangan hidup kita. Karena Tuhan yang paling mengetahui, dengan siapa kita akan dapat saling melengkapi untuk mengenapi tujuan Tuhan dalam hidup kita.

Jika pernikahan kita dilandasi oleh kerinduan "agar kehendak Tuhan terlaksana dalam hidup kita melalui pernikahan." Tuhan sendiri yang akan campur tangan dalam kehidupan pernikahan kita. Walaupun mungkin, dalam perjalanannya, pernikahan kita tidak luput dari badai, namun badai tersebut tidak akan menghancurkan batera rumah tangga kita, karena Kristus senantiasa hadir di dalamnya.

Jadi untuk memiliki kehidupan pernikahan yang berbahagia, janganlah kita berusaha dengan kekuatan kita sendiri, dengan memilih pasangan hidup yang baik menurut kita dan menjamin masa depan kita.

Sebaliknya, kita harus mendasarkan keputusan kita pada kehendak Tuhan. Apa yang baik dan berkenan menurut Tuhan. Supaya kita bisa memenuhi kehendak Allah dalam hidup kita melalui pernikahan. Maka kebahagiaan itu akan mengikuti kita sepanjang hidup pernikahan kita.

Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.
( Matius 6:13 )

Kurang Satu Kali


Seorang pria yang sedang dikejar-kejar sekawanan penjahat, ia bersembunyi di sebuah rumah kosong yang telah rusak. Pria itu sangat ketakutan, bersedih, dan putus asa. Di dalam hati dia berseru kepada Tuhan, kenapa Tuhan membiarkannya mengalami semua ini.

Di dalam kesunyian dia melihat seekor semut yang membawa beban yang lebih besar dari dirinya sedang berusaha untuk naik ke tembok menuju atap rumah.

Berkali-kali semut itu terjatuh, tapi ia terus mencoba dan mencoba memanjat tembok itu sambil membawa bebannya.

Pria itu menghitung, sudah 69 kali semut itu terjatuh, namun dia terus berusaha membawa beban itu sampai ke atap rumah. Akhirnya, pada usahanya yang ke 70, semut itu berhasil sampai ke atap rumah.

Pria itu merasa Tuhan menjawabnya lewat apa yang dilakukan semut tadi. Dia tahu, Tuhan mau agar dia tidak pernah menyerah. Terus mencoba dan berharap kepada Tuhan.

Banyak orang tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan bukan karena Allah tidak mau memberikan apa yang mereka harapkan, tetapi karena mereka terlalu cepat menyerah dan berhenti di tengah jalan. Mereka menjadi lelah, kecewa dan putus asa dan akhinya mereka berhenti sampai di situ. Mereka tidak mau lagi melakukan apa yang telah mereka lakukan. Padahal mungkin jika mereka mau bertahan sebentar saja, mereka akan mendapatkan apa yang mereka harapkan.

Dari awal, kita tidak akan sampai pada akhir tanpa adanya sebuah proses. Tetapi proses tersebut yang sering kali menbuat kita tidak sabar. Akhirnya kita berhenti di tengah jalan, dan gagal mendapatkan apa yang kita harapkan.

Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajahMu terhadap aku? Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari? Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku?
  (Mazmur 13:2-3)

Daud berseru kepada Tuhan, sampai berapa lama lagi Tuhan akan mengindahkannya dan menolongnya; bukan hanya karena dia sedang berada di dalam kesesakan, dan dia ingin Allah segera menolongnya. Tetapi yang paling penting adalah, seruan Daud kepada Allah ini menunjukan keyakinan Daud. Dia percaya suatu saat Allah pasti akan menolongnya.

Seruan Daud ‘berapa lama lagi, Tuhan’ menunjukan kepercayaannya, bahwa Allah menetapkan sejangka waktu bagi penderitaannya. Daud percaya, jika waktu yang ditetapkan Allah bagi penderitaannya selesai, penderitaannya juga akan segera berakhir. Jika Daud tidak percaya bahwa Allah telah menetapkan sejangka waktu bagi penderitaannya, dia tidak akan bertanya kepada Tuhan, ‘berapa lama lagi’. Daud tahu, penderitaannya bukan untuk selamanya. Karena itu dia bertanya kepada Tuhan berapa lama lagi. Di dalam hati Daud ada sebuah keyakinan, di waktu Allah yang tepat, Allah pasti menolongnya.

Semua orang tidak ada yang tahu sampai kapan waktu Allah tiba. Mungkin besok, lusa, minggu depan, bulan depan, 1 tahun lagi, 10 tahun lagi, atau bahkan mungkin hari ini waktu Allah akan tiba. Kita semua tidak tahu kapan waktu itu akan tiba.

Namun salah satu hal yang paling menyedihkan adalah, kita harus menunggu, tanpa kita tahu batas waktu sampai berapa lama kita harus menunggu. Jika kita harus menunggu, dan kita tahu sampai kapan kita harus menunggu, itu akan terasa lebih mudah bagi kita, karena kita tahu, dan kita bisa berharap kapan kita akan mendapatkan apa yang kita nantikan. Namun jika kita harus menunggu, dan kita tidak tahu sampai kapan harus menunngu, hidup kita bisa seperti tanpa kepastian. Karena kita tidak tahu dan tidak bisa berharap kapan akan mendapatkan apa yang kita nantikan.

Saya sering mendengar orang yang berkonseling lewat radio berkata; mereka sudah menanti dan berdoa sekian lama, ada yang baru sebentar, ada juga yang sudah bertahun-tahun. Tetapi mereka belum mendapatkan apa yang mereka harapkan. Mereka semua bertanya, sampai kapan mereka harus menanti. Mereka berada dalan kebosanan dan keputus asaan karena sebuah penantian yang mereka tidak tahu kapan akan berakhir.

Saya juga pernah mengalami hal yang sama dengan orang-orang yang konseling lewat radio tersebut. Saya percaya Tuhan akan menyembuhkan saya dan memberikan apa yang saya harapkan pada waktunya. Tetapi saya tidak tahu, dan tidak memiliki suatu kepastian jangka waktu saya akan mendapatkan hal tersebut. Di saat saya merasa lelah menanti, di dalam benak saya timbul pikiran apakah saya tidak sedang membohongi diri saya sendiri. Saya merasa kalau saya sedang membohongi diri sendiri dengan menghibur diri sendiri dan berkata bahwa suatu saat Tuhan akan menyembuhkan saya. Hati saya menuduh saya, bahwa mungkin Tuhan tidak akan menyembuhkan saya, dan sekarang saya hidup dalam harapan yang palsu untuk menghibur diri sendiri.

Setiap manusia menginginkan suatu kepastian dalam hidupnya. Tidak ada seorang manusia pun yang mau hidup dalam ketidak pastian.

Semua orang yang sedang berada dalam ‘penantian yang tidak pasti’, pasti pernah merasakan kelelahan, kejenuhan, dan bakan putus asa. Dan jika kita berpikir, sudah berapa lama kita menanti, tetapi belum mendapatkan apa yang kita harapkan, itu akan membuat kita semakin lelah dan putus asa. Karena kita selalu berpikir sudah sedemikian jauh kita berjalan, tetapi mengapa belum sampai kepada tujuan juga?

Ketika kita sudah lama menanti, dan kita belum mendapatkan apa yang kita nantikan. Dan kita menjadi lelah, bosan, dan putus asa. Tetapi jika kita mencoba untuk membalik cara berpikir kita, bukan lagi "sudah seberapa jauh kita berjalan?" tetapi menjadi "sudah seberapa dekat kita dengan tujuan?" itu akan memberi kita kekuatan dan semangat untuk terus maju. Karena semakin lama kita menanti, berati kita sudah semakin dekat dengan tujuan kita.

Jangan pernah menyerah dan berhenti di tengah jalan. Karena mungkin perjalanan yang kita tidak tahu di mana akhirnya ini ternyata tinggal 1 langkah lagi. Jika ternyata memang tinggal 1 langkah lagi, dan kita sudah keburu menyarah terlebih dulu, kita tidak akan pernah memperoleh apa pun yang kita harapkan. Segala penantian dan perjuangan kita menjadi sia-sia. Atau bahkan kita harus mulai dari awal lagi.

Bayangkan! Betapa sangat menyesalnya kita. Jika setelah kita menyerah, kita baru tahu, perjalanan ini sebenarnya tinggal selangkah lagi. Karena kita sudah menyerah lebih dahulu, maka kita menjadi gagal memperoleh apa yang selama ini kita nantikan dan perjuangkan. Seandainya kita mau bersabar sebentar lagi saja, kita sudah bisa mendapatkan apa yang kita harapkan.

Jika saat ini anda sudah berdoa sebanyak 999 kali, dan belum mendapatkan jawaban. Janganlah berhenti berdoa! Karena mungkin di doa yang ke 1000, Allah akan menjawab doa anda. Janganlah biarkan menjadi sia-sia, segala penantian dan usaha anda selama ini; dengan anda berhenti di tengah jalan, anda tidak pernah mendapatkan apa yang anda harapkan.

Saya pernah bertanya kepada Tuhan:

“Tuhan, Engkau berkata, jika aku tinggal di dalan Engkau, dan firmanMu tinggal di dalam aku, mimtalah apa saja, maka Engkau akan memberikan kepadaku. (Yohanes 15:7) Tuhan, aku sudah tinggal di dalam Engkau, dan firmanMu sudah tinggal di dalam aku. Karena apa yang aku minta, semuanya sudah sesuai dengan firmanMu (Saya pernah mendengar seorang hamba Tuhan berkata, tanda dari kita sudah tinggal di dalam Tuhan, dan firman Tuhan tinggal di dalam kita adalah, apa yang kita minta sesuai dengan firman Tuhan. Dan saya yakin apa yang saya minta sesuai dengan firman Tuhan). Tetapi kenapa sampai sekarang Engkau belum memberikan itu padaku?”

Kemudian Tuhan menjawab saya:

“Aku hanya berjanji, jikalau kamu tinggal di dalam Aku, dan firmanKu tinggal di dalam kamu, mintahlah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya. Aku hanya berjanji bahwa kamu akan menerimahnya. Tetapi Aku tidak pernah berjanji kamu akan segera menerimanya, atau kapan kamu akan menerimanya. Jadi waktunya terserah padaKu”

Kita juga bisa belajar dari kisah Elia untuk tidak berhenti berdoa sebelum Tuhan menjawab doa kita.

Tetapi Elia naik ke puncak gunung Karmel, lalu ia membungkuk ke tanah, dengan mukanya di antara kedua lututnya. Setelah itu ia berkata kepada bujangnya: ”Naiklah ke atas, lihatlah ke arah barat laut.” Bujang itu naik ke atas, ia melihat dan berkata: ”Tidak ada apa-apa.” Kata Elia: ”Pergilah sekali lagi.” Demikianlah sampai tujuh kali. Pada ketujuh kalinya berkatalah bujang itu; ”Wah, awan kecil sebesar telapak tangan timbul dari laut.” Lalu kata Elia: ”Pergilah, katakanlah kepada Ahab: Pasang keretamu dan turunlah, jangan sampai engkau terhalang oleh hujan.” Maka dalam sekejap mata langit menjadi kelam oleh awan badai, lalu turunlah hujan yang lebat.
      (I Raja-raja 18:42-45)

Elia adalah seorang nabi Tuhan yang luar biasa. Tuhan melakukan hal-hal yang dasyat sebagai jawaban atas doa-doa Elia. Bakan dalam kitab Yakobus, Elia digunakan sebagai contoh seseorang yang memiliki kuasa doa. (Yakobus 5:17) Tetapi pada ayat di atas, kita dapat melihat bahwa Elia tidak langsung mendapatkan jawaban atas doanya setiap kali ia berdoa. Pada waktu itu, Elia juga tidak tahu, kapan Tuhan akan menurunkan hujan. Dan dia harus berdoa beberapa kali sebelum Tuhan menjawab doanya.

Elia tidak tahu bahwa pada kali yang ke tujuh dia berdoa, Allah baru akan menjawab doanya. Seandainya dia tahu pada kali yang ke tujuh Allah baru menjawab doanya, tentulah dia tidak akan menyuruh bujangnya untuk bolak-balik naik ke atas gunung untuk melihat tanda-tanda akan turunnya hujan.

Pada kali yang pertama dia berdoa, dan dia menyuruh bujangnya untuk naik ke atas gunung untuk melihat apakah ada tanda-tanda akan turun hujan, dan ternyata tidak ada tanda sama sekali, Elia kembali berdoa. Setelah dia berdoa 4 atau 5 kali, dan masih tidak ada tanda, Elia mungkin mulai bertanya: “Apakah Tuhan mendengar doaku? Sampai berapa kali aku harus berdoa?” Tetapi, meskipun Elia tidak tahu, harus sampai berapa kali ia berdoa, tetapi ia memilih untuk tetap berdoa. Dan pada akhirnya, di kali yang ke tujuh, Allah menjawab doanya.

Seandainya di kali yang ke enam Elia berdoa dan belum mendapat jawaban. Kemudian dia berhenti berdoa. Padahal di kali yang ke tujuh Allah akan menjawab doanya, maka Elia tidak akan pernah melihat jawaban doa tersebut.

Terkadang memang Allah belum menjawab doa kita karena Allah tahu, begitu kita mendapatkan apa yang kita harapkan, kita akan segera berhenti berdoa. Allah ‘sengaja’ belum menjawab doa kita, supaya kita tidak henti-hentinya berdoa. Karena memang Allah ingin selalu bisa bersekutu dengan kita.

Saya sangat menyukai puisi di bawah ini. Saya menuliskannya pada buku catatan saya. Puisi ini mengingatkan saya, untuk saya tidak menyerah dan berhenti di tengah jalan ketika saya sudah lelah untuk menanti Tuhan menyembuhkan saya. Karena mungkin waktu kesembuhan itu tinggal besok, atau bahkan mungkin hari ini. Puisi ini mengingatkan saya untuk terus berjalan. Meskipun perjalanan ini membuat saya terasa sakit, tetapi Yesus sendiri yang memimpin perjalanan ini. Dia yang berjalan di depan kita, jadi Dia yang melewati dan merasakan lebih dulu jalanan yang akan kita tempuh. Dan itu tidak akan membahayakan kita, walaupun membuat kaki kita terasa sakit. Karena Yesus yang berjalan di depan kita, tahu persis kondisi jalan yang akan kita lalui.

Hanya berapa mil lagi, kekasih…
Dan kaki kita tidak akan terasa sakit lagi
Tiada lagi dosa dan penderitaan
Diamlah, Yesus berjalan di depan…
Dan kudengar Dia berbisik dengan lembut
Jangan takut, jangan gentar, teruslah maju
Karena mungkin esok hari
Perjalanan yang panjang ini akan berakhir

Puisi ini di tulis oleh Watchman Nee, seorang martir dari Cina ketika ia berada di dalam penjara. Ia menolak untuk menyangkal imannya kepada Yesus, dan dia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara di bawah pemerintahan komunis Cina. Tetapi pemerintah komunis Cina mengingkarinya. Setelah 15 tahun berada di dalam penjara, ia tidak juga dibebaskan.

Ia memiliki pengharapan untuk suatu hari dapat dibebaskan, dan kembali berkumpul bersama dengan keluarganya. Namun akhirnya dia harus berada di dalam penjara seumur hidupnya. Dia tidak pernah dibebaskan dari penjara seperti harapannya. Ia berada di dalam penjara selama 20 tahun, sebelum akhirnya ia meninggal dunia di penjara pada tahun 1972.

Walaupun pada kenyataanya ia tidak pernah dibebaskan dari penjara. Tetapi ia tetap menjaga sukacita dan pengharapanya. Pada suratnya yang terakhir untuk keluarganya, yang ditulisnya pada hari sebelum ia meninggal, di dalamnya masih menunjukan harapnnya untuk bisa bebas, dan dia selalu berkata akan menjaga sukacitanya meskipun di tengah penderitaan sekalipun.

Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta, bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, Atau berbicara dan tidak menepatinya?
  (Bilangan 23:19)

Allah tidak pernah mengingkari apa yang telah Ia janjikan. Sekali Ia berjanji, Ia pasti akan menepatinya. Allah membandingkan diriNya sendiri dengan manusia. Manusia dapat dengan mudah mengingkari janjinya, tetapi Allah tidak dapat mengingkari janjiNya. Janji Allah dapat diandalkan. Karena Allah itu setia terhadap janjiNya, maka kita juga harus setia dalam menantikan janji Allah.
Kita tidak boleh goyah, atau hilang kepercayaan dalam menantikan janji-janji Allah. Jika janji Allah belum digenapi, tidak berarti janji itu tidak akan digenapi. Allah pasti mengenapi janjiNya. Hanya saja Allah menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakan janjiNya. Karena itu kita harus bersabar dalam menantikan janji Allah digenapi. Sebab jika sudah tiba waktunya, Allah tidak akan berlambat-lambat dalam mengenapi janjiNya. Seperti nabi Habakuk berkata:

Sebab pengelihatan itu masih menanti saatnya, tetapi ia bersegera menuju kesudahannya dengan tidak menipu; apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh.
 (Habakuk 2:3)


Janji Tuhan tidak pernah berubah, janji Tuhan juga tidak pernah menipu. Janji Tuhan tetap akan digenapi, kapanpun itu waktunya.

Terkadang kita melihat ada orang-orang yang begitu beriman terhadap janji Tuhan. Mereka tetap mempercayai bahwa Tuhan akan mengenapi janjiNya, meskipun mereka belum melihat hal itu terjadi. Mereka menanti dengan setia. Mereka terus berpegang pada iman mereka sampai mereka mati. Tetapi akhirnya mereka mati tanpa memperoleh apa yang Tuhan janjikan.

Mungkin secara manusia kita akan melihat bahwa iman dan kepercayaan mereka sia-sia. Mereka mati tanpa memperoleh apa yang mereka harapkan. Segala penantian, kesabaran, dan jerih payah mereka tampaknya sia-sia. Bahkan jika seumur hidup mereka habiskan untuk menantikan janji tersebut, maka tampaknya seluruh hidup mereka menjadi sia-sia. Sampai mati mereka tidak memperoleh apa yang mereka harapkan, dan separtinya mereka mati sebagai orang-orang yang kalah.

Tetapi firman Tuhan berkata sebaliknya. Meskipun mereka mati tanpa memperoleh apa yang mereka harapkan, tetapi mereka bukanlah orang-orang yang kalah, melainkan orang-orang yang menang. Allah telah mempersiapkan sebuah tanah air yang lebih baik bagi mereka. Dan yang terpenting adalah bahwa Allah tidak malu disebut Allah mereka. Karena mereka tetap mempercayai Allah meskipun mereka tidak melihat Allah menepati janjiNya. Kebanggaan kita yang terbesar adalah ketika Allah tidak malu mengakui kita sebagai umatNya. Kebanggaan terbesar kita bukanlah memperoleh apa yang Allah janjikan, namun kebanggaan kita terbesar adalah ketika Allah dapat dengan bangga menyebut kita sebagai hambaNya.

Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu,….. Tetapi sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik, yaitu satu tanah air surgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka.
            (Ibrani 11:13, 16)

Bersabarlah menantikan janji Allah digenapi dalam hidup anda! Allah pasti akan menepati janjiNya, entah sekarang, di dunia ini, ataupun di kekekalan yang akan datang. Allah pasti menepati janjiNya, asalkan kita bisa setia dalam menantikan janji Allah. Jika di kehidupan ini Allah belum memberikan apa yang Dia janjikan, tetaplah percaya! Karena di kekekalan, Allah pasti memberikannya kepada kita. Bahkan Allah akan menyediakan sesuatu yang lebih baik bagi kita.

Akhir suatu hal lebih baik dari pada awalnya. Panjang sabar lebih baik dari pada tinggi hati.
            (Pengkhotbah 7:8)

Bagaimana kita bisa memperoleh sesuatu yang lebih baik pada akhirnya? Alkitab mengajarkan, untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik, kita harus pangjang sabar. Pengkhotah mengkontraskan antara panjang sabar dan tinggi hati. Dengan lain kata, orang yang tinggi hati tidak mungkin untuk bersabar. Karena salah satu ciri orang yang sombong adalah tidak bisa bersabar.

Orang yang sombong selalu ingin segalanya serba cepat. Dia merasa berhak untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Dia ingin bisa segera keluar dari keadaannya sekarang, sebab itu dia tidak bisa bersabar. Alkitab berkata:

“Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati. (Yakobus 4:6)

Orang-orang yang congkak akan ditentang oleh Allah. Karenanya mereka tidak akan mendapatkan sesuatu yang baik.

Sebaliknya orang yang rendah hati akan selalu dapat bersabar. Mereka dapat dengan tekun dan sabar menantikan Tuhan, karena itu Tuhan mengasihani mereka. Karena Tuhan mengasihani mereka, Tuhan pasti menyediakan sesuatu yang baik bagi mereka.

Jika saat ini anda sedang menantikan janji Tuhan, tetaplah percaya dan bersabar dalam menantikan janji Tuhan tersebut. Dengan bersabar, akan menunjukan kerendahan hati kita. Dan Allah mengasihi orang yang rendah hati. Jika Allah mengasihi kita, maka firman Tuhan yang berkata “akhir suatu hal lebih baik dari pada awalnya” akan berlaku bagi kita. Karena Allah selalu menyediakan yang terbaik bagi orang-orang yang dikasihiNya.



Aku Ingin Pulang


Menantu : "Masak sedikit tawar, kamu mengomel tidak ada rasa. Sekarang masak sedikit asin kamu bilang tidak bisa menelan. Sebenarnya maumu itu apa sih?"

Ibu tua itu, begitu melihat anak laki-lakinya pulang, tanpa berkata apa-apa, segera menelan nasi dan sayur itu.

Saat makan, si pria begitu mencoba makanan itu, langsung memuntahkannya : "Bukankah aku pernah berkata, ibu punya penyakit, jadi tidak boleh makan terlalu asin?"

Si isteri memandang suaminya dengan marah, dan berkata : "Baiklah, dia adalah ibumu. Mulai sekarang kamu yang memasak untuk dia!"

Si menantu dengan kemarahan yang menyala-nyala, masuk ke kamarnya. Pria itu yang merasa tidak berdaya dan hanya bisa diam menghadapi kemarahan sang isteri, kemudian berkata kepada ibunya: "Bu, sudahlah, jangan dimakan lagi. Saya buatkan mie instant untuk ibu."

Ibu tua berkata : "Apakah ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan dengan ibu? Katakanlah nak, agar jangan menjadi beban di hatimu."

Si pria berkata : "Bu, bulan depan perusahaan menaikan jabatanku, aku pasti akan sangat sibuk. Adapun isteriku berkata dia juga ingin mencari pekerjaan di luar. Maka……."

Ibu tua itu segera menyadari maksud anak laki-lakinya  : "Nak, tolong jangan masukan ibu ke panti jompo." Dengan suaranya yang seperti memohon.

Anak lelakinya diam sejenak, mencari alasan yang lebih baik : "Bu, sebenarnya panti jompo tidak sebegitu buruk. Ibu tahu, begitu isteriku bekerja, dia tentu tidak punya banyak waktu lagi untuk melayani ibu. Di panti jompo ada makanan, ada tempat tinggal, ada orang yang merawat. Bukankah jauh lebih baik dari pada di rumah?"

Setelah mandi, dan makan mie instan rebus, anak lelakinya segera masuk ke ruang kerjanya. Dia menerawang jauh melalui jendela. Ada sedikit keraguan di hatinya.
Ibunya dari muda sudah menjanda. Dengan susah payah merawat dan membesarkannya. Membiayainya bersekolah ke luar negeri. Namun dia tidak pernah mengunakan pengorbanannya waktu muda untuk menekan agar anaknya berbakti kepadanya. Sebaliknya, isterinyalah yang mengunakan pernikahan untuk menekannya.

Benarkah dia akan membiarkan ibunya tinggal di panti jompo? Dia bertanya kepada dirinya sendiri. Dia merasa tidak tega

"Yang akan menemani hidupmu selanjutnya adalah isterinu. Bukan ibumu?" Temannya selalu memperingatkannya seperti ini.

Keluarganya selalu menasehatinya : "Ibumu sudah setua ini. Jika umurnya panjang sekalipun, masih bisa hidup berapa tahun lagi? Kenapa tidak mengunakan beberapa tahun ini untuk baik-baik berbakti kepadanya. Pohon ingin bergoyang, tapi angin sudah tidak bertiup. Anak ingin berbakti, tapi orang tua sudah tiada."

Si pria tidak berani berpikir lagi. Dia takut dirinya akan benar-benar mengubah keputusan yang sudah dibuatnya.

Saat senja matahari yang memancarkan sinar kuning keemasan, bersembunyi di balik gunung untuk beristirahat.

Sebuah rumah jompo yang mewah berdiri di atas lereng gunung di daerah luar kota.

Ya, uang pembayaran rumah jompo yang mahal, membuat hati anaknya tenang.

Saat si pria membimbing ibunya ke ruang aula yang sangat besar, ada sebuah televisi yang masih sangat baru, layar 42 inci sedang menayangkan drama komedi, namun tidak seorangpun dari penonton yang tertawa. Beberapa orang tua yang memakai baju yang sama, dengan model potongan rambut yang sama pula tampak bengong sambil duduk di atas sofa, dan tanpa semangat sama sekali. Beberapa orang tua sedang berbicara sendiri. Beberapa lainnya membungkuk berlahan, berusaha untuk mengambil biskuit kering yang terjatuh di lantai untuk di makan.

Si pria tahu ibunya suka cahaya terang, karena itu dia memilihkan sebuah kamar yang penuh dengan cahaya matahari. Dari jendela kamar bisa terlihat pepohonan dengan rerumputan yang luas.

Beberapa perawat tampak sedang mendorong orang tua di kursi roda berjalan-jalan di bawah sinar matahari terbenam. Semua tampak diam, begitu sunyi, membuat hati terasa pedih.

Meskipun matahari terbenam tampak indah, bagaimanapun juga senja telah tiba, dia mendesah di dalam hati.

"Bu, aku….. aku harus pulang." Ibunya hanya diam sambil menganggukan kepala.

Saat dia pergi, ibunya melambaikan tangan berlahan, membuka mulutnya yang ompong tanpa gigi, sambil menjilati bibirnya yang pucat dan kering. Seperti hendak mengucapkan sesuatu.

Saat itulah si anak baru memperhatikan rambut ibunya yang sudah berwarna abu-abu, mata yang cekung, serta kulit wajah yang keriput.

Ibu sungguh sudah tua!

Tiba-tiba dia teringat sebuah peristiwa yang terjadi di masa lalu.

Waktu itu usianya baru 6 tahun. Ibunya ada urusan dan harus kembali ke desa. Sulit untuk mengajaknya. Karena itu, ibunya menitipkannya di rumah pamannya untuk beberapa hari. Saat ibunya akan berangkat, dia dengan ketakutan memeluk kaki ibunya dan tidak mau melepaskannya. Dengan sedih menangis sambil berteriak : "Ibu, jangan tinggalkan aku! Jangan pergi!" Akhirnya ibunya tidak jadi meninggalkannya.

Dia segera meniggalkan kamar ibunya, membuka pintu, dan tidak menoleh kembali. Sangat takut ingatan itu kembali datang menghantuinya.

Sesampainya di rumah, isteri dan ibu mertuanya sedang seperti orang gila membuang semua barang dari kamar ibunya.

Piala – itu adalah hadiah waktu dia SD untuk karangannya yang berjudul "ibuku" yang menjadi juara 1 dalam lomba mengarang. Kamus Cina Inggris – itu adalah hadiah ulang tahun yang pertama kali berhasil dibeli oleh ibunya karena ibunya menghemat sebagian uang makannya dan uang untuk keperluan pribadinya yang lain selama sebulan penuh.

Juga minyak untuk reumatik yang biasa digosok oleh ibunya sebelum tidur. Tidak ada dia yang mengosok ibunya, diantarkan ke panti jompo juga tidak ada artinya.

"Sudah cukup! Jangan buang lagi!" Si pria berteriak.

"Sampah sebanyak ini, jika tidak dibuang, bagaimana aku bisa menaruh barang-barangku?" Kata ibu mertuanya tanpa perasaan.

"Betul! Cepat keluarkan tempat tidur tua milik ibumu itu! Besok aku akan membelikan tempat tidur baru untuk ibuku!" Sahut isterinya.

Setumpuk foto waktu kecil tergeletak di hadapannya. Itu adalah foto-foto waktu ibunya membawanya ke kebun binatang dan taman bermain.

"Ini semua adalah harta ibuku. Tidak boleh ada satu pun yang dibuang!"

"Bagaimana sikapmu ini? Begitu tidak sopan pada ibuku. Kamu harus minta maaf pada ibuku!" Bentak isterinya.

"Aku menikahimu dan harus mengasihi ibumu, mengapa? Sedangkan kau menikahiku dan tidak bisa mengasihi ibuku." Jawab suaminya.

Malam setelah hujan tampak sepi, jalanan lengang, sangat sedikit pejalan kaki maupun kendaraan. Sebuah mobil mewah melaju di jalan. Menerobos lampu merah. Melaju dengan sangat cepat menujuh panti jompo yang ada di lereng gunung. Setelah memarkir mobil, dia segera menuju lantai atas, membuka pintu kamar tidur ibunya, dia berdiri sambil terpaku. Ibunya sedang mengosok kakinya yang sakit karena reumatik sambil menangis pelan.

Dia melihat di tangan anaknya ada minyak untuk reumatik, hatinya merasa terhibur dan berkata : "Ibu lupa membawanya, untung kamu membawanya datang."

Dia berjalan ke samping ibunya, dan berlutut.

"Sudah sangat malam. Ibu bisa mengosoknya sendiri. Besok kamu masih harus pergi bekerja. pulanglah!" Kata ibunya.

Dia terpaku beberapa saat, akhirnya menangis dengan keras : "Ibu, maaf, ampuni aku, kita pulang sekarang!"

♥♥♥♥

Cerita dia atas saya terjemakan dari postingan teman facebook saya dari Taiwan. Sebenarnya sudah sejak beberapa bulan yang lalu saya ingin menulis tentang orang-orang tua yang dititipkan oleh keluarganya di panti jompo. Sebab saya tergerak karena melihat jeritan hati para manula yang dipaksa untuk berpisah dari keluargannya. Namun saya tidak tahu harus mulai dari mana, karena cerita yang saya dapat begitu kompleks. Tapi cerita di atas memberi saya inspirasi dari mana saya harus mulai menulis.

Pada akhir tahun 2011, karena kelumpuhan yang saya derita, saya kemudian dipindahkan ka sebuah panti yang menampung anak yatim piatu, anak cacat dan juga lansia. Di situlah saya bersentuhan secara langsung dengan para orang tua yang menjadi penghuin panti jompo. Saya mendengarkan kisah hidup mereka, canda mereka, kesedihan mereka, kerinduan mereka, tangis mereka, bahkan keputus asaan mereka.

Saya tergerak untuk menuliskan kisah mereka, dengan harapan agar orang-orang yang membaca tulisan saya bisa belajar dari kenyataan yang ada. Betapa hancurnya hati orang-orang tua yang dipaksa berpisah dengan keluarganya. Dan agar kita kelak jangan mengulangi kesalahan yang sama dengan memasukan orang tua kita ke panti-panti jompo. Selama kita masih bisa merewat mereka, seharusnya kita berusaha untuk merawat mereka dengan baik. Karena, semewah apa pun sebuah panti jompo, tetap tidak bisa dibandingkan dengan kebahagiaan berada di antara anak cucunya.

Selain itu, saya berharap agar tulisan ini dapat mengugah hati para perawat dan orang-orang yang bekerja di panti-panti jompo, agar mereka bisa melayani dengan penuh kasih. Belajar memiliki hati yang berpengertian dan belajar memahami hati dan perasaan orang-orang tua yang kita rawat. Bagaimanapun juga mereka adalah orang-orang tua yang merasa tertolak dan terbuang. Mereka direngut secara paksa dari lingkungan mereka, kebiasaan-kebiasaan mereka, kesenangan mereka, barang-barang mereka, serta orang-orang yang mereka kasihi. Karena itu kita harus mengasihi mereka dan menghargai mereka sebagai manusia seutunya.

Di artikel ini saya mencoba menuliskan beberapa kisah dari orang-orang tua yang paling sering berbincang-bincang dengan saya, sehingga saya lebih mengerti tentang kisah-kisah mereka, dan apa yang mereka rasakan selama mereka tinggal di panti jompo. Dan saya percaya, kisah mereka mewakili jeritan banyak orang tua yang tinggal di panti jompo. Karena pada umumnya semua orang tua yang dititipkan di panti jompo memiliki perasaan yang sama, yaitu perasaan tertolak dan terbuang.

Hanya ada satu seruan yang mereka teriakkan adalah "Aku Ingin Pulang". Entah itu pulang ke rumah untuk berkumpul kembali dengan keluarganya, atau pulang kepada Penciptanya. Pada dasarnya, tidak ada satu pun orang tua yang senang tinggal di panti jompo.

Kisah saya, saya mulai dengan cerita seorang nenek yang selalu memakai jilbab, dengan baju kebaya adat Jawa. Saya tidak tahu nama nenek ini, tetapi kami biasa memanggilnya dengan sebutan Mbah Uti.

Suatu pagi, tidak lama setelah saya tinggal di panti tersebut, saya dikejutkan oleh suara rebut-ribut. Ada suara orang tua yang menangis sambil berbicara dengan keras, juga ada suara beberapa perawat yang berbicara tidak kalah kerasnya. Percakapan mereka terdengar sangat jelas dari jendela kamar saya, dan percakapan mereka yang kebanyakan mengunakan bahasa Jawa, kurang lebih seperti ini:

Si mbah : "Aku kate mule." ( Saya mau pulang.)

Perawat : "Mule neng endi mbah?" ( Pulang ke mana mbah? )

Si mbah : "Mule neng omaku, aku kangen karo putuku." ( Pulang ke rumahku, aku rindu dengan cucuku. ) Kata si mbah sambil menangis.

Perawat : "Oma’e neng endi mbah?" ( Rumahnya di mana mbah? )

Si mbah : "Juanda."

Perawat : "Mule numpak opo mbah?" ( Pulang naik apa mbah? )

Si mbah : "Becak."

Perawat : "Duit’e endi mbah?" ( Uangnya mana mbah? ) Tanya mereka sambil tertawa.

Si mbah : "Pokok’’e aku kate mule, aku kangen karo putuku. " ( Pokoknya aku mau pulang, aku rindu sama cucuku. ) Jawab si mbah disertai tangis yang bertambah keras.

Setelah pedebatan sekitar ½ jam lamanya, akhirnya mbah uti yang berusaha untuk kabur itu mau dibujuk untuk kembali ke kamarnya yang terletak di lantai atas. Karena para perawat berjanji untuk menghubungi anaknya agar memjemputnya pulang ke rumah. Tapi ternyata janji mereka hanya untuk membohongi mbah uti supaya ia mau kembali ke atas. Karena keluarganya tetap tidak pernah datang, walaupn hanya untuk menjenguknya.

Beberapa hari setelah usaha pelarian mbah uti, saya dibawa naik ke lantai atas untuk melihat oma-oma. Saat inilah saya bisa mengenal mbah uti secara langsung, dan mendengar kisahnya, bagaimana sampai dia bisa tinggal di panti jompo itu.

Beberapa bulan yang lalu, anak mbah uti berkata bahwa mereka sekeluarga akan berangkat naik Haji. Karena itu, mereka akan menitipkan si mbah di panti jompo untuk sementara waktu, karena mereka tidak tegah meninggalkan si mbah sendirian di rumah. Dan setelah pulang dari Haji, mereka akan kembali menjemput si mbah pulang ke rumah. Sebab itu, si mbah dengan suka rela diantar ke panti  jompo. Namun sampai berbulan-bulan lamanya, anaknya tidak pernah kembali untuk menjemput si mbah.

Saya tidak tahu, apakah naik Haji hanya merupakan alasan anaknya saja agar si mbah mau berangkat ke rumah jompo tanpa paksaan. Atau memang anaknya pergi naik Haji, dan setelah pulang, dia lupa masih mempunyai seorang ibu yang dititipkannya di panti jompo. Yang pasti, keluargannya tidak ada yang pernah datang untuk menenggok si mbah lagi.

Sampai suatu hari, petugas kebersihan yang akan menyapu kamar si mbah menemukan si mbah tergeletak tidak sadar di lantai kamarnya. Mungkin si mbah mengalami serangan strok karena batinnya begitu tertekan karena merasa dibuang oleh anaknya dan rasa rindunya kepada cucunya. Akhirnya pihak panti benar-benar menghubungi keluarganya. Anaknya segera datang, dan sambil menangis membawa si mbah yang tidak sadarkan diri itu pulang.

Saya tidak tahu perasaan apa sebenarnya yang ada di balik tangis anak si mbah. Apakah ia benar-benar menyesal karena telah menelantarkan ibunya, atau ia menangis hanya karena dia takut dihukum Tuhan sebagai anak durhaka. Seandainya dia benar-benar menyesal sekalipun, penyesalannya itu tidak ada gunanya, karena dia tidak mungkin bisa membayar kembali apa yang ia telah lakukan terhadap ibunya. Ia tidak bisa membalikan waktu, mengubah apa yang sudah dia lakukan, sehingga membuat ibunya tidak menderita. Apalagi sekarang ibunya dalam keadaan koma, dan entah dia bisa sadar lagi atau tidak. Jika dia benar-benar menyesal, maka perasaan bersalah akan membebaninya seumur hidupnya. Dan sejak saat itu saya tidak pernah lagi mendengar kabar tentang mbah uti.

Kisah ke dua saya adalah cerita tentang seorang oma yang terkenal jahat dan pemarah oleh para perawat di situ. Saya lupa namanya. Yang saya ingat, oma itu mempunyai luka yang terbuka lebar di mata kakinya akibat penyakit diabetes yang dideritanya.

Suatu siang, oma ini juga pernah mencoba melarikan diri seperti mbah uti. Saat para perawat istirahat siang, dan suasana agak sepi, si oma berusaha untuk melarikan diri. Namun, karena dia harus berjalan dengan mengunakan walker, maka suara walker yang rebut membuat para perawat mengetahui usaha melarikan dirinya, dan mengejarnya.

Oma ini tidak seperti mbah uti yang mudah dibujuk untuk kembali ke atas. Oma ini tetap ngotot menunggu anaknya datang di pintu gerbang, meski para perawat sudah berjanji untuk menelpon anaknya agar datang menjemputnya. Akhirnya, setelah menunggu sampai malam, dan anaknya tidak benar-benar datang menjemputnya, maka dengan terpaksa dia kembali ke kamarnya di lantai atas.

Karena saya tahu oma ini bisa berbahasa Mandarin, maka ketika saya mendapat kesempatan untuk naik ke lantai atas, saya mencoba mendekatinya dengan mengajaknya bercakap-cakap dengan bahasa Mandarin dan memberinya renungan harian berbahasa Mandarin, serta kaca pembesar agar dia bisa membaca dengan lebih mudah.

Dari percakapan tersebut saya mengetahui bahwa dia banyak menyimpan kepahitan dalam hatinya. Meskipun dari wajahnya sudah mencerminkan hati yang keras dan penuh kebencian, namun dari pembicaraanlah saya bisa mengetahui bahwa kepahitan sudah begitu dalam merusak hatinya.

Meskipun di buku status tercatat bahwa dia beragama Kristen, namun dia berkata bahwa dia tidak mau memeluk agama tertentu, karena dia takut akan dibenci orang. Dari sini jelas terlihat kalau dia takut mengalami penolakan, karena seumur hidupnya dia telah mengalami penolakan.

Sebagai anak perempuan dari keluarga Tionghua kolot, papanya melarangnya untuk bersekolah, meskipun dia sangat ingin bersekolah. Karena menurut budaya Tionghua yang lebih menghargai anak laki-laki, tidak ada gunanya seorang anak perempuan bersekolah. Dan ini menyebabkan kepahitan di hatinya terhadap papanya.

Setelah dewasa dan menikah, ternyata suamianya adalah seorang penjudi. Suaminya tidak menafkai keluarganya, sebaliknya menghabiskan seluruh hartanya untuk berjudi, karena suaminya dulu adalah anak yang sangat dimanja oleh orang tuanya, sehinggah setelah menikah dia tidak bisa menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab. Dan dalam keadaan yang susah itu, dia harus bekerja keras untuk membesarkan anak-anaknya. Ini pun menyebabkan kepahitan di hatinya.

Setelah semua anaknya dewasa dan memiliki kehidupan yang layak, anak-anaknya tidak membalas apa yang sudah dia lakukan untuk mereka dengan merawatnya dengan baik. Sebaliknya anak-anaknya justu memasukannya ke panti jompo. Ini menyebabkan kepedihan yang sangat di hatinya.

Dari pengalaman pahit demi pengalaman pahit yang dia lewati seumur hidupnya menyebabkan oma ini memiliki hati yang sangat keras. Sehingga ia terkesan sebagai orang yang jahat. Sebenarnya oma ini sangat membutuhkan kasih, jiwanya yang beku hanya dapat dicairkan oleh kasih yang tulus. Namun, karena minimnya pengetahuan pisikologi para perawat, akhirnya yang oma ini dapatkan bukannya kasih, tetapi perlakuan kasar. Karena perawat hanya melihat sikap oma ini yang memusuhi semua orang. Mereka tidak bisa atau tidak mau melihat apa yang melatar belakangi sikap keras dari oma ini. Akibatnya perlakuan para perawat semakin memperparah luka di hatinya.

Kisah terakhir saya adalah tentang seorang oma berusia 83 tahun yang suka bercanda bernama Kuntari, atau biasa dipanggil dengan sebutan mak Kun. Saya megetahui kisah hidupnya saat dia berkunjung ke kamar saya di hari yang bertepatan dengan perayaan Imlek. Karena mak Kun adalah keturunan Tionhua, maka dia sangat merasakan perbedaan suasana Imlek ketika dia masih tinggal di tengah keluarganya, dan ketika dia sudah tinggal di panti.

Dia bercerita bahwa dia dulu tinggal di daerah Pregolan ( daerah itu merupakan salah satu pemukiman kelas menengah ke atas di kota Surabaya ). Dan ternyata mak Kun dulu bergereja di tempat yang sama dengan saya. Karena gereja saya dekat sekali dengan daerah Pregolan, dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Semua anak mak Kun belum percaya Tuhan. Setiap Minngu dia sendirian pergi ke gereja. Suatu hari, mak Kun mendapati bahwa anak laki-lakinya yang sudah menikah dan tinggal bersamanya ternyata berselingku dengan adik tirinya sendiri, sampai mempunyai seorang anak dari hubungan itu. Suami mak Kun mempunyai gundik di kota Jombang, dan mempunyai seorang anak perempuan dengan gundiknya itu. Anak dari gundik inilah yang kemudian berselingku dengan anak mak Kun. Meskipun mereka sama-sama mengetahui bahwa mereka adalah saudara satu ayah meskipun lain ibu.

Mengetahui hal itu, mak Kun menjadi sangat marah dan bertengkar hebat dengan anak laki-lakinya. Dia menyebut anaknya itu sebagai binatang karena berselingku dengan adiknya sendiri. Anaknya tidak terima mendengar hinaan mak Kun, dan memukul mak Kun hingga jatuh. Kemudian dia mengirim mak Kun ke panti jompo. Sejak saat itu, tidak ada satu pun keluarganya ataupun anggota gereja yang mengunjungunya. Mak Kun menceritakan ini semua sambil menangis.

Karena mak Kun berasal dari gereja yang sama dengan saya, maka saya mencoba menceritakan tentang mak Kun kepada seorang teman saya yang terlibat dalam pelayanan di gereja. Saya berharap dia bisa menolong supaya ada orang dari gereja yang mengunjungi mak Kun, karena dia banyak mengenal orang di gereja. Namun jawabannya sempat membuat saya kecewa. Dia berkata, kenapa mak Kun tidak ikut cell grup sehingga ada teman-teman cell grup yang akan care kepadanya. Bayangkan, bagaimana seorang oma berusia 80 tahun harus ikut cell grup yang selalu selesai di atas jam 9 malam? Bayangkan, bagaimana reaksi anaknya yang belum percaya Tuhan jika setiap hari Selasa harus menunggu mamanya pulang cell grup sampai larut malam?

Hal ini membuat saya bertanya, memang seperti inikah model gereja saat ini? Gereja sibuk melakukan penjangkauan keluar dan aksi-aksi sosial, tetapi mengabaikan dombanya sendiri yang sedang terluka. Apakah tidak ada satu orang pun di gereja yang menyadari ketidak hadiran mak Kun setelah anaknya mengirimnya ke panti jompo, dan berusaha untuk mencari tahu keberadaan nenek tua yang tiba-tiba mengilang dari gereja itu? Ataukah memang selama ini tidak ada seorang pun yang memperhatikan kehadiran mak Kun di gereja, sehingga ketika mak Kun tidak lagi datang ke gereja, tidak ada seorang pun yang merasa kehilangan dia?

Namun, apa pun alasannya sehingga tidak ada seorang pun dari gereja yang datang menjenguk mak Kun, saya berharap agar kita sebagai orang percaya tidak mengabaikan 1 jiwa pun yang datang ke gereja kita. Karena setiap jiwa berharga di mata Tuhan.

Ketika saya menuliskan kisah ini, mak Kun sudah berada bersama Bapa di surga yang sangat mengasihinya dan tidak akan membuangnya. Mak Kun meninggal beberapa bulan yang lalu, mungkin karena dia menderita diabetes. Banyak koreng-koreng di kakinya yang tidak kunjung sembuh meskipun dia sudah berpantang untuk memakan makanan yang menurutnya bisa menyebabkan gatal dan hanya makan sayur serta tahu tempe setiap hari.

Saya ingat suatu pagi, mak Kun menangis di depan pintu lift yang tepat berada di depan jendela kamar saya sehingga saya bisa mendengar suaranya dengan jelas. Mak Kun meminta untuk di bawa ke dokter dan periksa gula darah karena semalam kakinya yang korengan digigit tikus. Ia takut koreng di kakinya yang tidak sembuh-sembuh itu diakibatkan oleh gula darahnya yang tinggi. Perawat hanya menjawab agar dia menunggu anaknya datang untuk membawanya periksa darah. Padahal mereka tahu pasti bahwa anak mak Kun tidak mungkin datang. Karena setelah beberapa tahun mak Kun tinggal di panti, tidak sekalipun keluarganya datang menjenguknya.

Saya sangat sedih mendengar tangis mak Kun. Namun saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya. Saya tidak bisa bangun dari tempat tidur saya dan membawanya pergi ke dokter. Kelumpuhan saya menghalangi saya untuk menolong mak Kun.

Sampai saat mak Kun koma pun, anaknya tetap tidak peduli padanya. anak perempuannya hanya datang sebentar untuk melihat ibunya yang sedang sekarat, dan kemudian meninggalkannya. Anak-anaknya datang kembali malam harinya setelah mak Kun meninggal dengan membawa ambulans untuk mengambi jenazanya.

Saya tidak tahu bagaimana perlakuan mak Kun kepada anak-anaknya ketika mereka masih kecil sehingga membuat semua anaknya tidak peduli kepadanya ketika mereka dewasa. Mungkin diwaktu muda mak Kun juga tidak sepenuhnya perhatian kepada anak-anaknya. Mungkin juga anak-anaknya selalu menjadi pelampiasan kemarahannya karena suaminya berselingku. Tetapi bagaimanapun kita harus tetap menghormati orang tua kita, karena di dunia ini tidak ada orang tua yang sempurna. Setiap orang tua, baik disengaja atau tidak, pasti pernah menyakiti hati anak-anaknya.

Kita menghormati orang tua kita, karena itu adalah kehendak Tuhan bagi kita. Dan perintah untuk menhormati orang tua adalah satu-satunya perintah Tuhan yang mengandung janji. Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu. ( Keluaran 20:12 )

Memang mudah untuk menghormati orang tua yang mengasihi kita. Tetapi ketaatan kita kepada perintah Tuhan justru diuji ketika kita harus menghormati orang tua yang telah menelantarkan kita dan memperlakukan kita dengan buruk. Ketika kita bisa menghormati dan mengasihi orang tua yang tidak pernah mengasihi kita, di situlah kasih Allah dinyatakan melalui hidup kita. Sebuah kasih yang tanpa syarat. Sebuah kasih yang mampu membalas kejahatan dengan kebaikan.

Selain kisah ke tiga oma di atas, sebenarnya masih banyak kisah oma-oma lain yang bisa menjadi cermin untuk kita, agar kita tidak menelantarkan anggota keluarga kita yang sudah lanjut usia. Namun pada dasarnya yang mereka rindukan hanya satu yaitu: "Aku Ingin Pulang". Entah itu pulang ke rumah untuk berkumpul kembali dengan keluarganya, atau pulang kepada Penciptanya. Tidak ada satu pun orang tua yang senang tinggal di panti jompo, dan menganggap panti jompo sebagai rumahnya.

Namun pada kenyataannya masih banyak orang tua yang tidak beruntung sehingga mereka harus tinggal di panti-panti jompo walaupun masih memiliki anak dan cucu, karena anak cucu mereka tidak bisa atau tidak mau merawat mereka.

Saya berharap, artikel yang singkat ini dapat mengugah hati kita semua untuk kita bisa berbakti kepada orang tua kita. Tidak peduli seberapa besar kesulitan yang akan kita hadapi untuk memelihara anggota keluarga kita yang sudah lanjut usia. Hendaknya itu tidak menjadi alasan bagi kita untuk menghindari tanggung jawab kita merawat orang tua kita, dan menitipkan mereka ke panti jompo.

Saya percaya, jika kita setia melakukan firman Tuhan untuk berbakti kepada orang tua kita, Tuhan akan menolong kita seberapa besarpun kesulitan yang akan kita hadapi ketika kita harus merawat orang tua kita. Tuhan sanggup mencurahkan kasih dan kekuatanNya kepada kita. Bahkan Tuhan akan memenuhi kebutuhan kita sehingga kita bisa merawat orang tua kita dengan baik. Karena kita telah melakukan apa yang berkenan kepadaNya.

Tetapi jikalau seorang janda mempunyai anak atau cucu, hendaknya mereka itu pertama-tama belajar berbakti kepada kaum keluarganya sendiri dan membalas budi orang tua dan nenek mereka, karena itulah yang berkenan kepada Allah.
 
( I Timotius 5:4 )