Menantu : "Masak
sedikit tawar, kamu mengomel tidak ada rasa. Sekarang masak sedikit asin kamu
bilang tidak bisa menelan. Sebenarnya maumu itu apa sih?"
Ibu tua itu, begitu melihat
anak laki-lakinya pulang, tanpa berkata apa-apa, segera menelan nasi dan sayur
itu.
Saat makan, si pria begitu
mencoba makanan itu, langsung memuntahkannya : "Bukankah aku pernah
berkata, ibu punya penyakit, jadi tidak boleh makan terlalu asin?"
Si isteri memandang suaminya
dengan marah, dan berkata : "Baiklah, dia adalah ibumu. Mulai sekarang
kamu yang memasak untuk dia!"
Si menantu dengan kemarahan
yang menyala-nyala, masuk ke kamarnya. Pria itu yang merasa tidak berdaya dan
hanya bisa diam menghadapi kemarahan sang isteri, kemudian berkata kepada
ibunya: "Bu, sudahlah, jangan dimakan lagi. Saya buatkan mie instant untuk
ibu."
Ibu tua berkata :
"Apakah ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan dengan ibu? Katakanlah nak,
agar jangan menjadi beban di hatimu."
Si pria berkata : "Bu,
bulan depan perusahaan menaikan jabatanku, aku pasti akan sangat sibuk. Adapun
isteriku berkata dia juga ingin mencari pekerjaan di luar. Maka……."
Ibu tua itu segera menyadari
maksud anak laki-lakinya : "Nak,
tolong jangan masukan ibu ke panti jompo." Dengan suaranya yang seperti memohon.
Anak lelakinya diam sejenak,
mencari alasan yang lebih baik : "Bu, sebenarnya panti jompo tidak
sebegitu buruk. Ibu tahu, begitu isteriku bekerja, dia tentu tidak punya banyak
waktu lagi untuk melayani ibu. Di panti jompo ada makanan, ada tempat tinggal,
ada orang yang merawat. Bukankah jauh lebih baik dari pada di rumah?"
Setelah mandi, dan makan mie
instan rebus, anak lelakinya segera masuk ke ruang kerjanya. Dia menerawang
jauh melalui jendela. Ada
sedikit keraguan di hatinya.
Ibunya dari muda sudah
menjanda. Dengan susah payah merawat dan membesarkannya. Membiayainya
bersekolah ke luar negeri. Namun dia tidak pernah mengunakan pengorbanannya
waktu muda untuk menekan agar anaknya berbakti kepadanya. Sebaliknya,
isterinyalah yang mengunakan pernikahan untuk menekannya.
Benarkah dia akan membiarkan
ibunya tinggal di panti jompo? Dia bertanya kepada dirinya sendiri. Dia merasa
tidak tega
"Yang akan menemani
hidupmu selanjutnya adalah isterinu. Bukan ibumu?" Temannya selalu
memperingatkannya seperti ini.
Keluarganya selalu
menasehatinya : "Ibumu sudah setua ini. Jika umurnya panjang sekalipun,
masih bisa hidup berapa tahun lagi? Kenapa tidak mengunakan beberapa tahun ini
untuk baik-baik berbakti kepadanya. Pohon ingin bergoyang, tapi angin sudah tidak
bertiup. Anak ingin berbakti, tapi orang tua sudah tiada."
Si pria tidak berani
berpikir lagi. Dia takut dirinya akan benar-benar mengubah keputusan yang sudah
dibuatnya.
Saat senja matahari yang
memancarkan sinar kuning keemasan, bersembunyi di balik gunung untuk
beristirahat.
Sebuah rumah jompo yang
mewah berdiri di atas lereng gunung di daerah luar kota.
Ya, uang pembayaran rumah
jompo yang mahal, membuat hati anaknya tenang.
Saat si pria membimbing
ibunya ke ruang aula yang sangat besar, ada sebuah televisi yang masih sangat
baru, layar 42 inci sedang menayangkan drama komedi, namun tidak seorangpun
dari penonton yang tertawa. Beberapa orang tua yang memakai baju yang sama,
dengan model potongan rambut yang sama pula tampak bengong sambil duduk di atas
sofa, dan tanpa semangat sama sekali. Beberapa orang tua sedang berbicara
sendiri. Beberapa lainnya membungkuk berlahan, berusaha untuk mengambil biskuit
kering yang terjatuh di lantai untuk di makan.
Si pria tahu ibunya suka
cahaya terang, karena itu dia memilihkan sebuah kamar yang penuh dengan cahaya
matahari. Dari jendela kamar bisa terlihat pepohonan dengan rerumputan yang
luas.
Beberapa perawat tampak
sedang mendorong orang tua di kursi roda berjalan-jalan di bawah sinar matahari
terbenam. Semua tampak diam, begitu sunyi, membuat hati terasa pedih.
Meskipun matahari terbenam
tampak indah, bagaimanapun juga senja telah tiba, dia mendesah di dalam hati.
"Bu, aku….. aku harus
pulang." Ibunya hanya diam sambil menganggukan kepala.
Saat dia pergi, ibunya
melambaikan tangan berlahan, membuka mulutnya yang ompong tanpa gigi, sambil
menjilati bibirnya yang pucat dan kering. Seperti hendak mengucapkan sesuatu.
Saat itulah si anak baru
memperhatikan rambut ibunya yang sudah berwarna abu-abu, mata yang cekung,
serta kulit wajah yang keriput.
Ibu sungguh sudah tua!
Tiba-tiba dia teringat
sebuah peristiwa yang terjadi di masa lalu.
Waktu itu usianya baru 6
tahun. Ibunya ada urusan dan harus kembali ke desa. Sulit untuk mengajaknya.
Karena itu, ibunya menitipkannya di rumah pamannya untuk beberapa hari. Saat
ibunya akan berangkat, dia dengan ketakutan memeluk kaki ibunya dan tidak mau
melepaskannya. Dengan sedih menangis sambil berteriak : "Ibu, jangan
tinggalkan aku! Jangan pergi!" Akhirnya ibunya tidak jadi meninggalkannya.
Dia segera meniggalkan kamar
ibunya, membuka pintu, dan tidak menoleh kembali. Sangat takut ingatan itu
kembali datang menghantuinya.
Sesampainya di rumah, isteri
dan ibu mertuanya sedang seperti orang gila membuang semua barang dari kamar
ibunya.
Piala – itu adalah hadiah
waktu dia SD untuk karangannya yang berjudul "ibuku" yang menjadi
juara 1 dalam lomba mengarang. Kamus Cina Inggris – itu adalah hadiah ulang
tahun yang pertama kali berhasil dibeli oleh ibunya karena ibunya menghemat
sebagian uang makannya dan uang untuk keperluan pribadinya yang lain selama
sebulan penuh.
Juga minyak untuk reumatik
yang biasa digosok oleh ibunya sebelum tidur. Tidak ada dia yang mengosok
ibunya, diantarkan ke panti jompo juga tidak ada artinya.
"Sudah cukup! Jangan
buang lagi!" Si pria berteriak.
"Sampah sebanyak ini,
jika tidak dibuang, bagaimana aku bisa menaruh barang-barangku?" Kata ibu
mertuanya tanpa perasaan.
"Betul! Cepat keluarkan
tempat tidur tua milik ibumu itu! Besok aku akan membelikan tempat tidur baru
untuk ibuku!" Sahut isterinya.
Setumpuk foto waktu kecil
tergeletak di hadapannya. Itu adalah foto-foto waktu ibunya membawanya ke kebun
binatang dan taman bermain.
"Ini semua adalah harta
ibuku. Tidak boleh ada satu pun yang dibuang!"
"Bagaimana sikapmu ini?
Begitu tidak sopan pada ibuku. Kamu harus minta maaf pada ibuku!" Bentak
isterinya.
"Aku menikahimu dan
harus mengasihi ibumu, mengapa? Sedangkan kau menikahiku dan tidak bisa
mengasihi ibuku." Jawab suaminya.
Malam setelah hujan tampak
sepi, jalanan lengang, sangat sedikit pejalan kaki maupun kendaraan. Sebuah
mobil mewah melaju di jalan. Menerobos lampu merah. Melaju dengan sangat cepat
menujuh panti jompo yang ada di lereng gunung. Setelah memarkir mobil, dia
segera menuju lantai atas, membuka pintu kamar tidur ibunya, dia berdiri sambil
terpaku. Ibunya sedang mengosok kakinya yang sakit karena reumatik sambil
menangis pelan.
Dia melihat di tangan
anaknya ada minyak untuk reumatik, hatinya merasa terhibur dan berkata :
"Ibu lupa membawanya, untung kamu membawanya datang."
Dia berjalan ke samping
ibunya, dan berlutut.
"Sudah sangat malam.
Ibu bisa mengosoknya sendiri. Besok kamu masih harus pergi bekerja.
pulanglah!" Kata ibunya.
Dia terpaku beberapa saat,
akhirnya menangis dengan keras : "Ibu, maaf, ampuni aku, kita pulang
sekarang!"
♥♥♥♥
Cerita dia atas saya
terjemakan dari postingan teman facebook saya dari Taiwan. Sebenarnya sudah sejak
beberapa bulan yang lalu saya ingin menulis tentang orang-orang tua yang dititipkan
oleh keluarganya di panti jompo. Sebab saya tergerak karena melihat jeritan
hati para manula yang dipaksa untuk berpisah dari keluargannya. Namun saya
tidak tahu harus mulai dari mana, karena cerita yang saya dapat begitu
kompleks. Tapi cerita di atas memberi saya inspirasi dari mana saya harus mulai
menulis.
Pada akhir tahun 2011,
karena kelumpuhan yang saya derita, saya kemudian dipindahkan ka sebuah panti
yang menampung anak yatim piatu, anak cacat dan juga lansia. Di situlah saya
bersentuhan secara langsung dengan para orang tua yang menjadi penghuin panti
jompo. Saya mendengarkan kisah hidup mereka, canda mereka, kesedihan mereka,
kerinduan mereka, tangis mereka, bahkan keputus asaan mereka.
Saya tergerak untuk
menuliskan kisah mereka, dengan harapan agar orang-orang yang membaca tulisan
saya bisa belajar dari kenyataan yang ada. Betapa hancurnya hati orang-orang
tua yang dipaksa berpisah dengan keluarganya. Dan agar kita kelak jangan
mengulangi kesalahan yang sama dengan memasukan orang tua kita ke panti-panti
jompo. Selama kita masih bisa merewat mereka, seharusnya kita berusaha untuk
merawat mereka dengan baik. Karena, semewah apa pun sebuah panti jompo, tetap
tidak bisa dibandingkan dengan kebahagiaan berada di antara anak cucunya.
Selain itu, saya berharap
agar tulisan ini dapat mengugah hati para perawat dan orang-orang yang bekerja
di panti-panti jompo, agar mereka bisa melayani dengan penuh kasih. Belajar
memiliki hati yang berpengertian dan belajar memahami hati dan perasaan
orang-orang tua yang kita rawat. Bagaimanapun juga mereka adalah orang-orang
tua yang merasa tertolak dan terbuang. Mereka direngut secara paksa dari
lingkungan mereka, kebiasaan-kebiasaan mereka, kesenangan mereka, barang-barang
mereka, serta orang-orang yang mereka kasihi. Karena itu kita harus mengasihi
mereka dan menghargai mereka sebagai manusia seutunya.
Di artikel ini saya mencoba
menuliskan beberapa kisah dari orang-orang tua yang paling sering
berbincang-bincang dengan saya, sehingga saya lebih mengerti tentang
kisah-kisah mereka, dan apa yang mereka rasakan selama mereka tinggal di panti
jompo. Dan saya percaya, kisah mereka mewakili jeritan banyak orang tua yang
tinggal di panti jompo. Karena pada umumnya semua orang tua yang dititipkan di
panti jompo memiliki perasaan yang sama, yaitu perasaan tertolak dan terbuang.
Hanya ada satu seruan yang
mereka teriakkan adalah "Aku Ingin Pulang". Entah itu pulang ke rumah
untuk berkumpul kembali dengan keluarganya, atau pulang kepada Penciptanya.
Pada dasarnya, tidak ada satu pun orang tua yang senang tinggal di panti jompo.
Kisah saya, saya mulai
dengan cerita seorang nenek yang selalu memakai jilbab, dengan baju kebaya adat
Jawa. Saya tidak tahu nama nenek ini, tetapi kami biasa memanggilnya dengan
sebutan Mbah Uti.
Suatu pagi, tidak lama
setelah saya tinggal di panti tersebut, saya dikejutkan oleh suara rebut-ribut.
Ada suara orang
tua yang menangis sambil berbicara dengan keras, juga ada suara beberapa
perawat yang berbicara tidak kalah kerasnya. Percakapan mereka terdengar sangat
jelas dari jendela kamar saya, dan percakapan mereka yang kebanyakan mengunakan
bahasa Jawa, kurang lebih seperti ini:
Si mbah : "Aku kate mule." ( Saya mau pulang.)
Perawat : "Mule neng endi mbah?" ( Pulang ke
mana mbah? )
Si mbah : "Mule neng omaku, aku kangen karo putuku."
( Pulang ke rumahku, aku rindu dengan cucuku. ) Kata si mbah sambil menangis.
Perawat : "Oma’e neng endi mbah?" ( Rumahnya
di mana mbah? )
Si mbah :
"Juanda."
Perawat : "Mule numpak opo mbah?" ( Pulang
naik apa mbah? )
Si mbah : "Becak."
Perawat : "Duit’e endi mbah?" ( Uangnya mana
mbah? ) Tanya mereka sambil tertawa.
Si mbah : "Pokok’’e aku kate mule, aku kangen karo
putuku. " ( Pokoknya aku mau pulang, aku rindu sama cucuku. ) Jawab si
mbah disertai tangis yang bertambah keras.
Setelah pedebatan sekitar ½
jam lamanya, akhirnya mbah uti yang berusaha untuk kabur itu mau dibujuk untuk
kembali ke kamarnya yang terletak di lantai atas. Karena para perawat berjanji
untuk menghubungi anaknya agar memjemputnya pulang ke rumah. Tapi ternyata
janji mereka hanya untuk membohongi mbah uti supaya ia mau kembali ke atas.
Karena keluarganya tetap tidak pernah datang, walaupn hanya untuk menjenguknya.
Beberapa hari setelah usaha
pelarian mbah uti, saya dibawa naik ke lantai atas untuk melihat oma-oma. Saat
inilah saya bisa mengenal mbah uti secara langsung, dan mendengar kisahnya,
bagaimana sampai dia bisa tinggal di panti jompo itu.
Beberapa bulan yang lalu,
anak mbah uti berkata bahwa mereka sekeluarga akan berangkat naik Haji. Karena
itu, mereka akan menitipkan si mbah di panti jompo untuk sementara waktu,
karena mereka tidak tegah meninggalkan si mbah sendirian di rumah. Dan setelah
pulang dari Haji, mereka akan kembali menjemput si mbah pulang ke rumah. Sebab
itu, si mbah dengan suka rela diantar ke panti
jompo. Namun sampai berbulan-bulan lamanya, anaknya tidak pernah kembali
untuk menjemput si mbah.
Saya tidak tahu, apakah naik
Haji hanya merupakan alasan anaknya saja agar si mbah mau berangkat ke rumah
jompo tanpa paksaan. Atau memang anaknya pergi naik Haji, dan setelah pulang,
dia lupa masih mempunyai seorang ibu yang dititipkannya di panti jompo. Yang
pasti, keluargannya tidak ada yang pernah datang untuk menenggok si mbah lagi.
Sampai suatu hari, petugas
kebersihan yang akan menyapu kamar si mbah menemukan si mbah tergeletak tidak
sadar di lantai kamarnya. Mungkin si mbah mengalami serangan strok karena
batinnya begitu tertekan karena merasa dibuang oleh anaknya dan rasa rindunya
kepada cucunya. Akhirnya pihak panti benar-benar menghubungi keluarganya.
Anaknya segera datang, dan sambil menangis membawa si mbah yang tidak sadarkan
diri itu pulang.
Saya tidak tahu perasaan apa
sebenarnya yang ada di balik tangis anak si mbah. Apakah ia benar-benar
menyesal karena telah menelantarkan ibunya, atau ia menangis hanya karena dia
takut dihukum Tuhan sebagai anak durhaka. Seandainya dia benar-benar menyesal
sekalipun, penyesalannya itu tidak ada gunanya, karena dia tidak mungkin bisa
membayar kembali apa yang ia telah lakukan terhadap ibunya. Ia tidak bisa
membalikan waktu, mengubah apa yang sudah dia lakukan, sehingga membuat ibunya
tidak menderita. Apalagi sekarang ibunya dalam keadaan koma, dan entah dia bisa
sadar lagi atau tidak. Jika dia benar-benar menyesal, maka perasaan bersalah
akan membebaninya seumur hidupnya. Dan sejak saat itu saya tidak pernah lagi
mendengar kabar tentang mbah uti.
Kisah ke dua saya adalah
cerita tentang seorang oma yang terkenal jahat dan pemarah oleh para perawat di
situ. Saya lupa namanya. Yang saya ingat, oma itu mempunyai luka yang terbuka
lebar di mata kakinya akibat penyakit diabetes yang dideritanya.
Suatu siang, oma ini juga
pernah mencoba melarikan diri seperti mbah uti. Saat para perawat istirahat
siang, dan suasana agak sepi, si oma berusaha untuk melarikan diri. Namun,
karena dia harus berjalan dengan mengunakan walker,
maka suara walker yang rebut membuat
para perawat mengetahui usaha melarikan dirinya, dan mengejarnya.
Oma ini tidak seperti mbah
uti yang mudah dibujuk untuk kembali ke atas. Oma ini tetap ngotot menunggu
anaknya datang di pintu gerbang, meski para perawat sudah berjanji untuk
menelpon anaknya agar datang menjemputnya. Akhirnya, setelah menunggu sampai
malam, dan anaknya tidak benar-benar datang menjemputnya, maka dengan terpaksa
dia kembali ke kamarnya di lantai atas.
Karena saya tahu oma ini
bisa berbahasa Mandarin, maka ketika saya mendapat kesempatan untuk naik ke
lantai atas, saya mencoba mendekatinya dengan mengajaknya bercakap-cakap dengan
bahasa Mandarin dan memberinya renungan harian berbahasa Mandarin, serta kaca
pembesar agar dia bisa membaca dengan lebih mudah.
Dari percakapan tersebut
saya mengetahui bahwa dia banyak menyimpan kepahitan dalam hatinya. Meskipun
dari wajahnya sudah mencerminkan hati yang keras dan penuh kebencian, namun
dari pembicaraanlah saya bisa mengetahui bahwa kepahitan sudah begitu dalam
merusak hatinya.
Meskipun di buku status
tercatat bahwa dia beragama Kristen, namun dia berkata bahwa dia tidak mau
memeluk agama tertentu, karena dia takut akan dibenci orang. Dari sini jelas
terlihat kalau dia takut mengalami penolakan, karena seumur hidupnya dia telah
mengalami penolakan.
Sebagai anak perempuan dari
keluarga Tionghua kolot, papanya melarangnya untuk bersekolah, meskipun dia sangat
ingin bersekolah. Karena menurut budaya Tionghua yang lebih menghargai anak
laki-laki, tidak ada gunanya seorang anak perempuan bersekolah. Dan ini
menyebabkan kepahitan di hatinya terhadap papanya.
Setelah dewasa dan menikah,
ternyata suamianya adalah seorang penjudi. Suaminya tidak menafkai keluarganya,
sebaliknya menghabiskan seluruh hartanya untuk berjudi, karena suaminya dulu
adalah anak yang sangat dimanja oleh orang tuanya, sehinggah setelah menikah
dia tidak bisa menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab. Dan dalam
keadaan yang susah itu, dia harus bekerja keras untuk membesarkan anak-anaknya.
Ini pun menyebabkan kepahitan di hatinya.
Setelah semua anaknya dewasa
dan memiliki kehidupan yang layak, anak-anaknya tidak membalas apa yang sudah
dia lakukan untuk mereka dengan merawatnya dengan baik. Sebaliknya anak-anaknya
justu memasukannya ke panti jompo. Ini menyebabkan kepedihan yang sangat di
hatinya.
Dari pengalaman pahit demi
pengalaman pahit yang dia lewati seumur hidupnya menyebabkan oma ini memiliki
hati yang sangat keras. Sehingga ia terkesan sebagai orang yang jahat.
Sebenarnya oma ini sangat membutuhkan kasih, jiwanya yang beku hanya dapat
dicairkan oleh kasih yang tulus. Namun, karena minimnya pengetahuan pisikologi
para perawat, akhirnya yang oma ini dapatkan bukannya kasih, tetapi perlakuan
kasar. Karena perawat hanya melihat sikap oma ini yang memusuhi semua orang.
Mereka tidak bisa atau tidak mau melihat apa yang melatar belakangi sikap keras
dari oma ini. Akibatnya perlakuan para perawat semakin memperparah luka di
hatinya.
Kisah terakhir saya adalah
tentang seorang oma berusia 83 tahun yang suka bercanda bernama Kuntari, atau
biasa dipanggil dengan sebutan mak Kun. Saya megetahui kisah hidupnya saat dia
berkunjung ke kamar saya di hari yang bertepatan dengan perayaan Imlek. Karena
mak Kun adalah keturunan Tionhua, maka dia sangat merasakan perbedaan suasana
Imlek ketika dia masih tinggal di tengah keluarganya, dan ketika dia sudah
tinggal di panti.
Dia bercerita bahwa dia dulu
tinggal di daerah Pregolan ( daerah itu merupakan salah satu pemukiman kelas
menengah ke atas di kota Surabaya ). Dan ternyata mak Kun dulu
bergereja di tempat yang sama dengan saya. Karena gereja saya dekat sekali
dengan daerah Pregolan, dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Semua anak mak Kun belum
percaya Tuhan. Setiap Minngu dia sendirian pergi ke gereja. Suatu hari, mak Kun
mendapati bahwa anak laki-lakinya yang sudah menikah dan tinggal bersamanya
ternyata berselingku dengan adik tirinya sendiri, sampai mempunyai seorang anak
dari hubungan itu. Suami mak Kun mempunyai gundik di kota Jombang, dan mempunyai seorang anak
perempuan dengan gundiknya itu. Anak dari gundik inilah yang kemudian
berselingku dengan anak mak Kun. Meskipun mereka sama-sama mengetahui bahwa
mereka adalah saudara satu ayah meskipun lain ibu.
Mengetahui hal itu, mak Kun
menjadi sangat marah dan bertengkar hebat dengan anak laki-lakinya. Dia
menyebut anaknya itu sebagai binatang karena berselingku dengan adiknya
sendiri. Anaknya tidak terima mendengar hinaan mak Kun, dan memukul mak Kun
hingga jatuh. Kemudian dia mengirim mak Kun ke panti jompo. Sejak saat itu,
tidak ada satu pun keluarganya ataupun anggota gereja yang mengunjungunya. Mak
Kun menceritakan ini semua sambil menangis.
Karena mak Kun berasal dari
gereja yang sama dengan saya, maka saya mencoba menceritakan tentang mak Kun
kepada seorang teman saya yang terlibat dalam pelayanan di gereja. Saya
berharap dia bisa menolong supaya ada orang dari gereja yang mengunjungi mak
Kun, karena dia banyak mengenal orang di gereja. Namun jawabannya sempat
membuat saya kecewa. Dia berkata, kenapa mak Kun tidak ikut cell grup sehingga ada teman-teman cell grup yang akan care kepadanya. Bayangkan, bagaimana seorang oma berusia 80 tahun harus
ikut cell grup yang selalu selesai di
atas jam 9 malam? Bayangkan, bagaimana reaksi anaknya yang belum percaya Tuhan
jika setiap hari Selasa harus menunggu mamanya pulang cell grup sampai larut malam?
Hal ini membuat saya
bertanya, memang seperti inikah model gereja saat ini? Gereja sibuk melakukan
penjangkauan keluar dan aksi-aksi sosial, tetapi mengabaikan dombanya sendiri
yang sedang terluka. Apakah tidak ada satu orang pun di gereja yang menyadari
ketidak hadiran mak Kun setelah anaknya mengirimnya ke panti jompo, dan
berusaha untuk mencari tahu keberadaan nenek tua yang tiba-tiba mengilang dari
gereja itu? Ataukah memang selama ini tidak ada seorang pun yang memperhatikan
kehadiran mak Kun di gereja, sehingga ketika mak Kun tidak lagi datang ke gereja,
tidak ada seorang pun yang merasa kehilangan dia?
Namun, apa pun alasannya
sehingga tidak ada seorang pun dari gereja yang datang menjenguk mak Kun, saya
berharap agar kita sebagai orang percaya tidak mengabaikan 1 jiwa pun yang
datang ke gereja kita. Karena setiap jiwa berharga di mata Tuhan.
Ketika saya menuliskan kisah
ini, mak Kun sudah berada bersama Bapa di surga yang sangat mengasihinya dan
tidak akan membuangnya. Mak Kun meninggal beberapa bulan yang lalu, mungkin
karena dia menderita diabetes. Banyak koreng-koreng di kakinya yang tidak
kunjung sembuh meskipun dia sudah berpantang untuk memakan makanan yang
menurutnya bisa menyebabkan gatal dan hanya makan sayur serta tahu tempe setiap hari.
Saya ingat suatu pagi, mak
Kun menangis di depan pintu lift yang tepat berada di depan jendela kamar saya
sehingga saya bisa mendengar suaranya dengan jelas. Mak Kun meminta untuk di
bawa ke dokter dan periksa gula darah karena semalam kakinya yang korengan
digigit tikus. Ia takut koreng di kakinya yang tidak sembuh-sembuh itu
diakibatkan oleh gula darahnya yang tinggi. Perawat hanya menjawab agar dia
menunggu anaknya datang untuk membawanya periksa darah. Padahal mereka tahu
pasti bahwa anak mak Kun tidak mungkin datang. Karena setelah beberapa tahun
mak Kun tinggal di panti, tidak sekalipun keluarganya datang menjenguknya.
Saya sangat sedih mendengar
tangis mak Kun. Namun saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya. Saya
tidak bisa bangun dari tempat tidur saya dan membawanya pergi ke dokter. Kelumpuhan
saya menghalangi saya untuk menolong mak Kun.
Sampai saat mak Kun koma
pun, anaknya tetap tidak peduli padanya. anak perempuannya hanya datang
sebentar untuk melihat ibunya yang sedang sekarat, dan kemudian
meninggalkannya. Anak-anaknya datang kembali malam harinya setelah mak Kun
meninggal dengan membawa ambulans untuk mengambi jenazanya.
Saya tidak tahu bagaimana
perlakuan mak Kun kepada anak-anaknya ketika mereka masih kecil sehingga
membuat semua anaknya tidak peduli kepadanya ketika mereka dewasa. Mungkin
diwaktu muda mak Kun juga tidak sepenuhnya perhatian kepada anak-anaknya.
Mungkin juga anak-anaknya selalu menjadi pelampiasan kemarahannya karena
suaminya berselingku. Tetapi bagaimanapun kita harus tetap menghormati orang
tua kita, karena di dunia ini tidak ada orang tua yang sempurna. Setiap orang
tua, baik disengaja atau tidak, pasti pernah menyakiti hati anak-anaknya.
Kita menghormati orang tua
kita, karena itu adalah kehendak Tuhan bagi kita. Dan perintah untuk menhormati
orang tua adalah satu-satunya perintah Tuhan yang mengandung janji. Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut
umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu. ( Keluaran 20:12 )
Memang mudah untuk
menghormati orang tua yang mengasihi kita. Tetapi ketaatan kita kepada perintah
Tuhan justru diuji ketika kita harus menghormati orang tua yang telah
menelantarkan kita dan memperlakukan kita dengan buruk. Ketika kita bisa
menghormati dan mengasihi orang tua yang tidak pernah mengasihi kita, di
situlah kasih Allah dinyatakan melalui hidup kita. Sebuah kasih yang tanpa
syarat. Sebuah kasih yang mampu membalas kejahatan dengan kebaikan.
Selain kisah ke tiga oma di
atas, sebenarnya masih banyak kisah oma-oma lain yang bisa menjadi cermin untuk
kita, agar kita tidak menelantarkan anggota keluarga kita yang sudah lanjut
usia. Namun pada dasarnya yang mereka rindukan hanya satu yaitu: "Aku
Ingin Pulang". Entah itu pulang ke rumah untuk berkumpul kembali dengan
keluarganya, atau pulang kepada Penciptanya. Tidak ada satu pun orang tua yang
senang tinggal di panti jompo, dan menganggap panti jompo sebagai rumahnya.
Namun pada kenyataannya
masih banyak orang tua yang tidak beruntung sehingga mereka harus tinggal di
panti-panti jompo walaupun masih memiliki anak dan cucu, karena anak cucu
mereka tidak bisa atau tidak mau merawat mereka.
Saya berharap, artikel yang
singkat ini dapat mengugah hati kita semua untuk kita bisa berbakti kepada
orang tua kita. Tidak peduli seberapa besar kesulitan yang akan kita hadapi
untuk memelihara anggota keluarga kita yang sudah lanjut usia. Hendaknya itu
tidak menjadi alasan bagi kita untuk menghindari tanggung jawab kita merawat
orang tua kita, dan menitipkan mereka ke panti jompo.
Saya percaya, jika kita
setia melakukan firman Tuhan untuk berbakti kepada orang tua kita, Tuhan akan
menolong kita seberapa besarpun kesulitan yang akan kita hadapi ketika kita
harus merawat orang tua kita. Tuhan sanggup mencurahkan kasih dan kekuatanNya
kepada kita. Bahkan Tuhan akan memenuhi kebutuhan kita sehingga kita bisa
merawat orang tua kita dengan baik. Karena kita telah melakukan apa yang
berkenan kepadaNya.
Tetapi jikalau seorang janda mempunyai
anak atau cucu, hendaknya mereka itu pertama-tama belajar berbakti kepada kaum
keluarganya sendiri dan membalas budi orang tua dan nenek mereka, karena itulah
yang berkenan kepada Allah.
( I Timotius 5:4 )